Ingin Anak Bahagia? Jangan Selalu Dituruti, Ini Akibatnya jika Dimanjakan

Banyak orang tua berpikir bahwa mencintai anak berarti menuruti semua keinginannya—memberi hadiah saat merengek, membela setiap kesalahan, atau menutupi kekeliruannya agar tak dimarahi guru. Padahal, tanpa disadari, pola asuh seperti ini bisa membuat anak tumbuh tanpa batas, tidak mengenal tanggung jawab, dan sulit menerima konsekuensi. Dari sinilah sering muncul perilaku “nakal” di sekolah.
Memanjakan anak bukan hanya soal materi, tapi juga ketika orang tua selalu membuat anak merasa menang. Ketika segala hal dibuat mudah, anak kehilangan kesempatan belajar menghadapi kesulitan. Mereka tak terbiasa mengelola emosi, menunda keinginan, atau menghargai proses. Akibatnya, saat bertemu dengan dunia luar yang penuh aturan, anak mudah frustrasi dan memberontak.
Berikut lima dampak dari terlalu memanjakan anak di rumah yang sering berujung pada perilaku negatif di sekolah:
1. Anak sulit menerima aturan dan disiplin

Anak yang tumbuh dengan pola serba “boleh” tidak terbiasa menghadapi batasan. Di rumah, semua keinginannya dituruti, sehingga ketika guru menegur atau melarang sesuatu, ia merasa dikekang. Padahal, guru hanya ingin menanamkan kedisiplinan dan tanggung jawab.
2. Anak jadi kurang tangguh dan mudah menyerah

Kurangnya disiplin di rumah membuat anak kesulitan menyesuaikan diri dengan sistem sekolah yang penuh aturan—mulai dari datang tepat waktu hingga mengerjakan tugas. Dalam jangka panjang, anak bisa tumbuh menjadi pribadi yang menolak otoritas dan sulit menghormati guru maupun orang tua.
3. Anak tumbuh egois dan tidak mau berbagi

Anak yang selalu dibantu orang tua tidak belajar menghadapi kegagalan. Begitu mengalami kesulitan di sekolah, mereka cepat menyerah, baik saat pelajaran sulit maupun saat berselisih dengan teman. Ketangguhan emosional hanya tumbuh jika anak diberi kesempatan untuk gagal dan belajar bangkit sendiri.
4. Kurang empati dan sulit berbagi

Anak yang terbiasa menjadi pusat perhatian sering kesulitan berbagi atau bekerja sama. Mereka ingin selalu jadi yang utama. Akibatnya, di sekolah, mereka mudah berselisih dengan teman dan kesulitan menjalin pertemanan yang sehat. Padahal, kemampuan berempati dan bekerja sama sangat penting untuk tumbuh menjadi pribadi yang matang.
5. Manipulatif dan tidak menghormati batasan

Anak yang tahu orang tuanya mudah luluh akan belajar memanipulasi situasi—menangis, merengek, atau berpura-pura sakit demi keinginannya. Pola ini bisa terbawa ke sekolah: anak menipu guru, mencari perhatian dengan drama, atau menyalahkan orang lain. Dalam jangka panjang, mereka tumbuh tanpa rasa hormat terhadap aturan dan otoritas.
Sikap hormat tidak bisa dibentuk lewat nasihat, melainkan lewat konsistensi di rumah. Anak perlu tahu bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi dan orang tua pun tak selalu bisa membela mereka jika salah. Dengan pola asuh yang seimbang—penuh kasih tapi tetap tegas—anak akan belajar bahwa cinta sejati bukan berarti selalu dituruti, melainkan dibentuk agar siap menghadapi dunia.