Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Bahaya Sugarcoating: Saat Kata Manis Justru Menjadi Masalah

Ngobrol.
ilustrasi orang mengobrol (pexels.com/Christina Morillo)

Dalam menyampaikan hal yang kurang menyenangkan, banyak orang memilih menggunakan bahasa yang lebih lembut dan terdengar manis. Tujuannya sederhana, yakni menghindari konflik dan menjaga perasaan lawan bicara. Cara ini dikenal dengan istilah sugarcoating.

Di satu sisi, sugarcoating kerap dianggap sebagai bentuk empati dan kepedulian. Namun di sisi lain, kebiasaan ini juga dapat membawa dampak negatif terhadap hubungan personal maupun profesional. Berikut sejumlah risiko yang perlu diwaspadai.

1. Menyembunyikan masalah yang sebenarnya

Ngobrol.
ilustrasi sekelompok orang mengobrol (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Sugarcoating sering kali menjadi tameng untuk menghindari kenyataan yang pahit. Ketika fakta tidak disampaikan secara jujur, akar permasalahan bisa luput dari perhatian. Akibatnya, masalah tidak terselesaikan dan justru berpotensi menimbulkan efek domino yang merugikan.

Dalam dunia kerja, misalnya, atasan yang terlalu lembut dalam memberi umpan balik bisa membuat anggota tim tidak menyadari kesalahan yang perlu diperbaiki. Dampaknya, kinerja dan produktivitas dapat terus menurun tanpa solusi yang jelas.

2. Menghambat pengembangan diri

Ngobrol.
ilustrasi orang mengobrol (pexels.com/EKATARINA BOLOVTSOVA)

Pujian yang berlebihan dan tidak realistis dapat membuat seseorang merasa terlalu nyaman. Tanpa disadari, kondisi ini menghambat proses belajar dan perbaikan diri. Ketika merasa sudah “cukup baik”, dorongan untuk berkembang pun melemah.

Padahal, kritik yang membangun sangat dibutuhkan agar seseorang mampu mengenali kelemahan dan potensi yang perlu ditingkatkan. Kritik bukan untuk menjatuhkan, melainkan membantu mencapai versi terbaik dari diri sendiri.

3. Membangun ekspektasi yang gak realistis

Ngobrol.
ilustrasi orang mengobrol (pexels.com/RDNE Stock project)

Sugarcoating juga berisiko menimbulkan harapan yang tidak realistis. Kata-kata manis memang dapat memberikan rasa nyaman sesaat, tetapi jika tidak disertai gambaran situasi yang sebenarnya, hal ini justru bisa menyesatkan.

Seseorang mungkin mengira masalah yang dihadapi tidak serius atau akan selesai dengan sendirinya. Ketika realita tidak sesuai ekspektasi, rasa kecewa dan kebingungan pun sulit dihindari.

4. Meningkatkan risiko kesalahan dalam pengambilan keputusan

Ngobrol.
ilustrasi orang mengobrol (pexels.com/Monstera)

Pengambilan keputusan membutuhkan informasi yang jujur dan menyeluruh. Jika fakta disampaikan secara berlebihan atau terlalu dipermanis, gambaran situasi menjadi tidak utuh. Hal ini dapat menimbulkan bias dan berujung pada keputusan yang keliru.

Dalam konteks bisnis atau kebijakan yang berdampak luas, kesalahan akibat informasi yang tidak transparan bisa merugikan banyak pihak.

5. Menumpuk masalah hingga menjadi bom waktu

Stres.
ilustrasi orang stres (pexels.com/AndrewNeel)

Menutupi masalah dengan sugarcoating bukanlah solusi jangka panjang. Masalah yang diabaikan justru bisa menumpuk dan berubah menjadi persoalan besar di kemudian hari. Alih-alih menghilang, masalah tersebut bisa menjadi “bom waktu” yang siap meledak kapan saja.

Menyampaikan kebenaran secara jujur memang tidak selalu mudah. Namun, keterbukaan yang disertai empati dan kritik konstruktif jauh lebih bermanfaat dibanding kata-kata manis yang menyesatkan. Dengan komunikasi yang jujur dan sehat, peluang untuk bertumbuh dan meraih kesuksesan di masa depan akan semakin terbuka.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Sri Gunawan Wibisono
EditorSri Gunawan Wibisono
Follow Us

Latest Life Kalimantan Timur

See More

Sambut Tahun Baru Lebih Siap, Ini 5 Cara Menjaga Kesehatan Mental

23 Des 2025, 22:30 WIBLife