Konflik Tambang Makin Panas: Sopir Gelar Aksi Demo, Warga Balik Menolak!

Paser, IDN Times – Ratusan sopir truk angkutan batu bara dari Kalimantan Selatan menggelar aksi demonstrasi di Simpang Tokare, Batu Kajang, Kecamatan Batu Sopang, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur, Selasa (10/6/2025). Mereka tergabung dalam Aliansi Sopir Angkutan Banua dan menuntut agar bisa kembali melintas di jalan umum untuk mengangkut batu bara.
Menariknya, protes ini tidak diarahkan ke pemerintah. Sebaliknya, para sopir menyasar warga dan tokoh masyarakat yang selama ini menolak truk tambang melintasi jalan negara.
“Kami para sopir angkutan Banua tidak akan rela jika angkutan batu bara yang menjadi penopang kami, kalian setop,” bunyi salah satu spanduk aksi.
1. Truk padati jalan nasional, buruh dan bengkel ikut aksi

Ratusan truk dari arah Kalimantan Selatan memadati jalan nasional menuju Balikpapan. Aksi ini juga diikuti pemilik bengkel dan buruh bongkar muat yang mengaku ikut terdampak karena pelarangan aktivitas hauling.
Sejumlah sopir menyuarakan kekhawatiran soal ancaman penarikan truk oleh leasing, terhentinya penghasilan, hingga masa depan keluarga mereka yang terancam.
“Tolong berikan kami pekerjaan, karena kami juga tidak mau anak istri kami terlantar,” kata beberapa sopir saat ditemui.
Kapolres Paser AKBP Novy Adhiwibowo menyebut aksi berjalan tertib. “Masih berjalan, lancar, aman, tertib. Ini masih orasi,” ujarnya singkat.
2. Tuntutan dinilai salah alamat, warga: Harusnya ke pemerintah

Namun tidak semua pihak sepakat dengan aksi ini. Beberapa warga menilai tuntutan para sopir salah alamat. Menurut mereka, seharusnya protes disampaikan ke pemerintah yang punya kewenangan, bukan ke masyarakat.
"Kalau mintanya ke kami, ya solusinya ayo berladang," ucap seorang warga yang identitasnya disamarkan.
Konflik antara warga dan aktivitas hauling di wilayah Batu Kajang hingga Muara Kate sudah berlangsung lama. Warga resah karena jalan umum rusak parah, penuh lubang, dan rawan kecelakaan akibat lalu-lalang truk tambang.
Rentetan konflik tambang dengan warga :
1 Mei 2024, seorang ustaz muda, Teddy, tewas di Songka, diduga tertabrak truk hauling.
Oktober 2024, Pendeta Veronika meninggal di Marangit setelah truk batu bara gagal menanjak.
15 November 2024, posko warga di Muara Kate diserang dini hari. Tokoh masyarakat, Russell, meninggal dunia. Saudaranya, Anson, luka berat. Pelaku belum tertangkap.
2 Juni 2025, warga menjaring 50 truk hauling berpelat Kalimantan Selatan yang tetap melintas di jalan negara, meski sudah dilarang.
Warga mendesak pemerintah menegakkan Perda Kaltim Nomor 10 Tahun 2012 dan UU Minerba Nomor 3 Tahun 2020 yang dengan tegas melarang penggunaan jalan umum untuk aktivitas hauling.
3. LBH dan peneliti sebut negara lalai, perusahaan lepas tangan

Lembaga Bantuan Hukum Samarinda menyebut pemerintah gagal hadir dalam konflik horizontal ini. Mereka mengingatkan bahwa Permen LH Nomor 10 Tahun 2025 menjamin hak warga atas lingkungan hidup yang sehat. Menurut mereka, perusahaan tambang harus membangun jalan khusus hauling, bukan justru mengorbankan masyarakat demi efisiensi produksi.
Peneliti NUGAL Institute, Merah Johansyah, bahkan menyebut konflik ini sebagai “bom waktu” yang dibiarkan meledak. Ia menuding BBPJN dan aparat sengaja membiarkan persoalan ini berlarut-larut.
“Kalau terus berulang dan BBPJN nggak bertindak padahal sudah tahu persoalannya, ini namanya repeating negligence,” tegasnya.
Merah menilai pola seperti ini bukan hal baru. Ia menyebut kasus serupa juga terjadi di Jambi dan Sumatera Selatan—di mana perusahaan tambang mendorong konflik horizontal demi menghindari biaya membangun jalan sendiri.
“Yang untung tetap perusahaan tambang, sementara rakyat dibiarkan bentrok,” tandasnya.
Ia mendesak pemerintah dan aparat segera turun tangan. Jika tidak, maka mereka yang harus dimintai pertanggungjawaban bila konflik warga dan sopir kembali pecah.