Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Partisipasi Pemilih Pilkada Kaltim 2024 Merosot, Ini Sebabnya

ilustrasi pemilu (IDN Times/Esti Suryani)

Balikpapan, IDN Times - Tingkat partisipasi pemilih dalam Pilkada serentak 2024 di Kalimantan Timur (Kaltim) mengalami penurunan dibandingkan Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilu Presiden (Pilpres). Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kaltim mencatat partisipasi pemilih hanya mencapai 69,18 persen, jauh di bawah target yang dipatok sebesar 77 persen.

Ketua KPU Kaltim, Fahmi Idris, mengungkapkan hasil rekapitulasi menunjukkan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) sebanyak 2.821.202 orang, terdiri dari 1.456.666 laki-laki dan 1.364.536 perempuan. Dari jumlah tersebut, hanya 1.882.391 orang yang menggunakan hak pilih. Tingkat partisipasi ini lebih rendah dibandingkan partisipasi pada Pemilu sebelumnya yang mencapai 79,81 persen.

“Kami sudah berupaya maksimal untuk meningkatkan partisipasi, tapi hasilnya belum sesuai harapan,” kata Fahmi.

1. Partisipasi pemilih di Mahulu paling tinggi, Samarinda paling rendah

Ilustrasi Pilkada. (Dok. Istimewa)

Meski secara keseluruhan partisipasi menurun, Kabupaten Mahakam Ulu (Mahulu) mencatat tingkat partisipasi tertinggi di Kaltim dengan 80,6 persen. Dari total 27.869 pemilih, sebanyak 22.458 orang hadir di TPS.

Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) berada di posisi kedua dengan partisipasi 79,6 persen, diikuti Kabupaten Kutai Barat dengan 74,9 persen, Kota Bontang 71,4 persen, dan Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) 70,3 persen.

Namun, kota-kota besar seperti Samarinda dan Balikpapan justru mencatat partisipasi terendah. Samarinda hanya mencapai 59,7 persen, sementara Balikpapan sedikit lebih baik dengan 60,5 persen.

2.Tingkat partisipasi rendah bukan berarti demokrasi buruk

Pilkada 2024 (IDN Times/Ilustrasi)

Ketua Bawaslu Kaltim, Hari Dermanto, menyebut rendahnya partisipasi dalam Pilkada adalah fenomena yang sudah sering terjadi. Pilkada biasanya kurang menarik dibandingkan Pileg atau Pilpres.

“Banyak faktor memengaruhi, seperti calon yang tidak menarik bagi masyarakat, keterbatasan waktu untuk hadir di TPS, atau perpindahan domisili,” jelasnya. Meski begitu, Hari menekankan rendahnya partisipasi tidak serta-merta mencerminkan kualitas demokrasi yang buruk.

“Partisipasi memang penting, tapi bukan satu-satunya ukuran demokrasi. Ada negara dengan partisipasi tinggi, tapi praktik demokrasinya tetap kurang baik,” ujarnya.

3. Pengamat sebut minimnya tingkat partisipasi tanggung jawab Parpol

ilustrasi pilkada (pexels.com/cottonbro studio)

Pengamat politik dari Universitas Mulawarman, Saipul Bachtiar, menilai ada masalah mendasar dalam sistem Pilkada yang turut memengaruhi partisipasi pemilih. Salah satu masalah utama adalah dominasi partai politik dalam menentukan pasangan calon (paslon).

“Paslon sering kali ditentukan oleh Dewan Pimpinan Pusat (DPP) partai tanpa melalui uji publik. Ini membuat masyarakat merasa kurang memiliki keterlibatan dalam proses pemilihan,” jelas Saipul.

Ia juga menyoroti maraknya praktik politik uang di Kaltim. “Pragmatisme pemilih masih tinggi. Banyak yang lebih terpengaruh oleh uang daripada visi dan misi calon,” tambahnya.

Lebih lanjut, Saipul mengaku khawatir sehubungan munculnya wacana mengalihkan pemilihan gubernur kembali ke DPRD. Menurutnya, langkah ini hanya akan memperburuk kualitas demokrasi di Indonesia.

“Partisipasi rendah dan praktik politik uang seperti ini seolah sengaja dibiarkan. Padahal, ini semua disusun oleh mereka yang mengontrol sistem,” tegas Saipul.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
SG Wibisono
EditorSG Wibisono
Follow Us