Punya Kisah Hidup Berbeda, Tiga Orangutan Kalimantan Dilepasliarkan

Pontianak, IDN Times - Tiga Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) dilepasliarkan ke kawasan TNBBBR wilayah kerja Resort Mentatai, Kecamatan Menukung, Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat (Kalbar).
Pelepasliaran ini dilakukan bersaa Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Barat, Balai Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya (BTNBBBR), dan Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia (YIARI).
Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya (TNBBBR) dipilih sebagai lokasi pelepasliaran karena masih memiliki tutupan hutan yang baik, sumber pakan yang melimpah, serta tekanan manusia yang relatif rendah.
Selain itu, kawasan ini juga dinilai aman bagi orangutan karena berstatus kawasan konservasi yang mendapat pengawasan rutin melalui patroli BTNBBBR.
Sebagai penyebar biji dan pembuka ruang bagi tumbuhan hutan, orangutan berperan penting dalam menjaga hutan tetap sehat. Penambahan individu orangutan hasil rehabilitasi di kawasan ini diharapkan dapat memperkuat populasi orangutan kalimantan dalam jangka panjang sekaligus menjaga kelestarian hutan di TNBBBR.
1. Petugas hadapi medan dengan jarak tempuh 3 hari

Untuk mencapai titik pelepasliaran di dalam kawasan TNBBBR, tim harus menempuh perjalanan darat, sungai, dan trekking hutan dengan total waktu tempuh sekitar 3 hari dari Pusat Rehabilitasi YIARI.
Pelepasliaran orangutan ini juga turut didukung oleh warga desa–desa sekitar kawasan TNBBBR yang dilibatkan sebagai porter kandang. Keterlibatan mereka tidak hanya membantu kelancaran kegiatan, tetapi juga membuka ruang partisipasi dan menumbuhkan rasa memiliki masyarakat terhadap orangutan dan hutan di sekitar mereka.
Ketiga orangutan yang dilepasliarkan adalah Badul, Korwas, dan Asoka. Mereka adalah orangutan yang dititiprawatkan BKSDA Kalbar di Pusat Penyelamatan dan Rehabilitasi Orangutan YIARI di Desa Sungai Awan Kiri, Ketapang.
Proses rehabilitasi dilakukan untuk mengembalikan perilaku alami orangutan agar mampu bertahan hidup di hutan, termasuk kemampuan mencari pakan, menjelajah, serta membuat sarang, sekaligus membangun kembali perilaku liar dan menjaga jarak dari manusia.
Di alam bebas, bayi orangutan semestinya belajar keterampilan hidup dari induknya hingga usia 6–8 tahun. Namun ketika orangutan terpisah dari induknya akibat pemeliharaan ilegal, perdagangan satwa liar, atau tekanan pada habitat, mereka kehilangan kesempatan belajar dan membutuhkan proses rehabilitasi yang panjang sebelum siap kembali ke habitatnya.
2. Masing-masing orangutan punya kisah hidup yang berbeda

Badul adalah orangutan jantan yang perjalanan hidupnya sempat bersinggungan erat dengan manusia. Sebelum dipindahkan ke YIARI pada 25 November 2017, ia lebih dulu dititiprawatkan di Sinka Island Park, Singkawang.
Kandangnya berdampingan dengan satwa lain seperti landak dan burung. Pola hidup yang jauh dari kondisi hutan inilah yang kemudian harus “diulang” kembali saat ia memulai masa rehabilitasi di Pusat Rehabilitasi YIARI Ketapang.
Selama delapan tahun, tim medis dan perawat satwa YIARI mendampingi Badul hingga ia tumbuh menjadi individu yang aktif menjelajah jauh, mahir mencari pakan alami di hutan, dan piawai membuat sarang sendiri. Dengan kenaikan berat badan hampir empat kali lipat sejak pertama kali tiba serta hasil pemeriksaan kesehatan yang sangat baik, Badul kini dinilai telah lulus dari “sekolah hutan” dan siap kembali hidup di hutan TNBBBR.
Korwas adalah orangutan betina yang kisahnya bermula dari perdagangan ilegal satwa liar melalui media sosial. Ia disita oleh Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat (SPORC) dan kemudian dibawa ke Pusat Rehabilitasi YIARI pada 23 Agustus 2017.
Saat pertama tiba, Korwas datang dengan membawa “jejak” masa lalunya: ia mengalami infeksi jamur kulit (dermatofitosis) yang menimbulkan lesi-lesi kering berbentuk cincin di tubuhnya. Setelah menjalani terapi antijamur, kondisinya membaik dan Korwas mulai bergabung dengan orangutan lain di sekolah hutan.
Berangsur-angsur, perilaku Korwas semakin menunjukkan sifat liar yang dibutuhkan untuk hidup di hutan: daya jelajahnya jauh, perilaku foraging-nya baik, dan ia cenderung menjauhi manusia, termasuk tim medis dan perawat satwa. Kini, setelah dinyatakan sehat dalam pemeriksaan terakhir, Korwas siap mengakhiri masa rehabilitasinya dan kembali menjalani hidup sebagai orangutan liar di jantung TNBBBR.
Asoka adalah orangutan jantan yang diselamatkan dari warga di Sungai Besar. Saat ditemukan, ia masih bayi dan diperkirakan berusia sekitar lima bulan ketika dipelihara. Menurut keterangan warga, Asoka ditemukan saat mereka memancing di sungai, lalu dibawa pulang dan diberi pakan susu kental manis setiap hari. Pola asuh dan makanan yang tidak sesuai inilah yang membuat Asoka datang ke YIARI pada 27 Juli 2015 dengan kondisi yang rentan dan membutuhkan perhatian intensif.
Dengan pendampingan tim medis dan perawat satwa, Asoka belajar memanjat, mencari pakan hutan, memilih daun dan buah untuk pakan, serta membuat sarang. Sepuluh tahun setelah pertama kali datang, Asoka kini aktif berjalan jauh, mandiri mencari pakan, dan memiliki perilaku sosial yang baik dengan orangutan lain. Hasil pemeriksaan kesehatan terakhir menunjukkan kondisi yang stabil dan sehat. Dari bayi yang dulu hidup di rumah warga, Asoka kini siap kembali ke rumahnya yang sesungguhnya: hutan TNBBBR.
3. Orangutan telah melalui proses medis sebelum dilepasliarkan

Manager Animal Management YIARI, drh Andini Nurillah, menjelaskan bahwa aspek kesehatan menjadi fondasi utama sebelum keputusan pelepasliaran diambil.
“Setiap orangutan yang kami lepasliarkan telah melewati rangkaian pemeriksaan kesehatan yang ketat dan rutin selama masa rehabilitasi. Badul, Korwas, dan Asoka menunjukkan kondisi fisik yang baik, kesehatan yang stabil, serta perilaku yang mendukung keberhasilan hidup di alam liar,” ucapnya, Kamis (18/12/2025).
Sebelum pelepasliaran, ketiga individu telah melalui prosedur medis pra-pelepasliaran, mencakup pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, penimbangan bobot badan rutin, serta verifikasi identitas satwa melalui microchip. Setelah pelepasliaran, tim gabungan YIARI dan BTNBBBR akan melaksanakan pemantauan untuk memastikan proses adaptasi berjalan baik.
Hal-hal yang diperhatikan ketika pemantauan di antaranya adalah kemampuan menemukan pakan, membuat sarang, hingga mempertahankan perilaku liar di lingkungan barunya. Ketua Umum YIARI, Silverius Oscar Unggul, mengapresiasi sinergi berbagai pihak dalam pelepasliaran ini.
“Setiap individu orangutan yang berhasil kembali ke hutan adalah buah dari proses panjang: penyelamatan, rehabilitasi, dan perawatan rutin dari tim. Pelepasliaran tiga orangutan ini bukan hanya kabar baik bagi YIARI, tetapi juga bagi masa depan keanekaragaman hayati Indonesia. Kami sangat menghargai dukungan BKSDA Kalimantan Barat, TNBBBR, dan masyarakat sekitar kawasan yang turut memastikan hutan tetap menjadi rumah yang aman bagi orangutan,” terangnya.
4. Pelepasliaran orangutan Kalimantan jadi momentum penting

Sementara itu, Direktur Program Operasional YIARI, Argitoe Ranting, menyampaikan bahwa kegiatan pelepasliaran ini juga menjadi momentum penting dalam penguatan transparansi dan komunikasi konservasi kepada publik.
Dia menambahkan bahwa dampak dari kebijakan tersebut tidak hanya terbatas pada aspek komunikasi, tetapi juga berimplikasi serius terhadap penanganan konflik dan penyelamatan satwa di lapangan.
“Pada periode tersebut, berbagai pembatasan sering kali disampaikan oleh kepala-kepala balai di daerah dengan mengatasnamakan arahan kementerian. Situasi ini menimbulkan kebingungan di lapangan, menghambat koordinasi, bahkan dalam beberapa kasus menghambat proses penyelamatan dan translokasi orangutan yang seharusnya dapat segera dilakukan," ujarnya.
"Akibatnya, kami menemukan situasi di mana individu orangutan tidak tertangani tepat waktu, konflik dengan masyarakat meningkat, dan kerugian juga dirasakan oleh masyarakat akibat kerusakan tanaman kebun warga,” tambahnya.
Argitoe bilang, kondisi tersebut menjadi pelajaran penting bagi semua pihak karena itu, pihaknya menyambut baik ruang publikasi dan keterbukaan yang kini tersedia.
Kepala BKSDA Kalimantan Barat, Murlan Dameria Pane, menyatakan kegiatan pelepasliaran orangutan hasil rehabilitasi Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia (YIARI) di Ketapang ke Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya, tidak hanya sekedar memindahkan orangutan dari pusat rehabilitasi ke habitatnya, tetapi merupakan bentuk komitmen semua pihak terhadap konservasi keanekaragaman hayati khususnya dalam hal ini konservasi orangutan.
“Pelepasliaran ini memberikan kesempatan untuk Badul, Korwas, dan Asoka utk hidup dan beraktivitas di alam bebas. Semoga mereka hidup sejahtera dan berkembangbiak sehingga menambah populasi orangutan Kalimantan,” harapnya.
Kepala Balai Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya, Persada Agussetia Sitepu, menyatakan bahwa pelepasliaran tiga individu orangutan ini merupakan bagian dari upaya penguatan fungsi kawasan TNBBBR sebagai habitat alami satwa liar yang aman dan berkelanjutan.
“Pelepasliaran tiga individu orangutan kalimantan di kawasan Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya merupakan hasil dari proses yang terencana dan berbasis pada kajian kesesuaian habitat, daya dukung kawasan, serta kesiapan satwa hasil rehabilitasi. Kawasan Resort Mentatai dipilih karena memiliki tutupan hutan yang masih baik, ketersediaan pakan alami yang memadai, serta tingkat gangguan manusia yang relatif rendah,” tuturnya.
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa Balai TNBBBR memiliki tanggung jawab untuk memastikan orangutan yang dilepasliarkan dapat beradaptasi dan bertahan hidup di habitat alaminya.
“Pascapelepasliaran, kami bersama mitra akan melakukan pemantauan secara berkala untuk mengamati pergerakan, perilaku mencari pakan, pembuatan sarang, serta interaksi satwa dengan lingkungan sekitar, guna memastikan proses adaptasi berjalan optimal,” tukasnya.

















