Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Ritual Sakral Barongsai Buka Mata, Tradisi Warga Tionghoa Sambut Imlek

Ritual buka mata barongsai di Vihara Pontianak. (IDN Times/Teri).

Pontianak, IDN Times - Menjelang perayaan Imlek 2025, masyarakat Tionghoa di Pontianak Kalimantan Barat (Kalbar) mulai melaksanakan berbagai tradisi khas, salah satunya adalah ritual sakral barongsai buka mata.

Tradisi ini menjadi bagian tak terpisahkan dalam rangkaian perayaan Imlek dan Cap Go Meh.

1. Ritual buka mata barongsai

Buka mata barongsai meriahkan perayaan Imlek di Pontianak. (IDN Times/Teri)

Tatung Pontianak, Suhu Asua (43), mengungkapkan bahwa ritual barongsai buka mata memiliki makna mendalam terkait dengan keberkahan dan perlindungan.

"Ritual ini bertujuan untuk memberikan berkah dan mendatangkan hoki bagi siapa saja yang terlibat," ujar Asua saat ditemui di Vihara Patucca Samuppada, Jalan WR. Supratman, Pontianak.

2. Makna mendalam di balik ritual

Warga Tionghoa saat beribadah di vihara Pontianak. (IDN Times/Teri).

Menurut Asua, salah satu aspek penting dalam prosesi ini adalah peran dewa singa, atau dikenal sebagai capot lohang dalam bahasa Tionghoa. Sosok ini dipercaya memiliki kekuatan untuk melindungi rumah dari energi negatif dan berbagai hal buruk.

"Barongsai ini tidak sekadar simbol budaya, tetapi juga memiliki tujuan penting. Keberadaannya menjaga rumah atau kelenteng dari energi buruk dan menghalau orang jahat yang berniat masuk," jelasnya.

Asua menambahkan bahwa barongsai yang telah melalui ritual buka mata akan berkeliling saat perayaan Imlek dan Cap Go Meh.

"Barongsai akan membersihkan rumah dari energi negatif serta membawa keberuntungan bagi pemiliknya di tahun yang akan datang," tambahnya.

3. Lestarikan budaya Tionghoa

Lampion berjejeran pada perayaan imlek di Pontianak. (IDN/Teri)

Di balik prosesi yang sarat makna ini, Asua berharap agar tradisi barongsai tetap lestari dan tidak tergerus oleh perkembangan zaman. Ia menilai, ritual ini adalah bagian penting dari identitas budaya Tionghoa yang harus dijaga.

"Saya berharap adat dan budaya ini tetap bertahan, karena ini adalah warisan leluhur yang tak ternilai," harapnya.

Sebagai seorang tatung yang mewarisi peran ini secara turun-temurun, Asua mengaku bahwa menjadi tatung bukan sekadar pekerjaan, melainkan panggilan suci yang penuh tanggung jawab.

"Saya menjadi tatung sejak usia 19 tahun. Dewa datang sendiri kepada kita, bukan kita yang mencarinya. Mereka akan menguji hati kita terlebih dahulu, apakah kita siap membantu orang lain dengan tulus," pungkasnya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
SG Wibisono
EditorSG Wibisono
Follow Us