TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

OTT KPK di Kutim, Pengamat: Kasus Erat Kaitannya dengan Pilkada 2020

Ongkos pilkada tak murah memicu sikap korup kepala daerah

Herdiansyah Hamzah, Pengamat Hukum Unmul (Dok.IDN Times/Istimewa)

Samarinda, IDN Times - Operasi Tangkap Tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi di Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur, empat hari lalu kembali menambah daftar panjang perkara kepala daerah yang terjerat kasus korupsi di Indonesia. Demikian dikatakan Pengamat Hukum Universitas Mulawarman (Unmul), Herdiansyah Hamzah, Senin (6/7/2020) sore.

“Saya menduga kasus ini berhubungan erat dengan kepentingan Pilkada di Kutai Timur, yang sedianya akan digelar 2020 ini,” ujar pria yang akrab disapa Castro ini.

1. Ongkos pilkada tak murah memancing perilaku korup kepala daerah

(Ilustrasi korupsi) IDN Times/Sukma Shakti

KPK menetapkan Bupati Kutai Timur atau Kutim, Ismunandar sebagai tersangka kasus dugaan suap pekerjaan infrastruktur bersama istrinya Encek Unguria Firgasih yang juga ketua DPRD Kutim. Lembaga antirasuah ini menyimpulkan ada dugaan tindak pidana korupsi dengan penerimaan hadiah atau janji terkait pekerjaan infrastruktur di lingkungan Pemkab Kutim periode 2019-2020. Dan dalam prosesnya dugaan terima hadiah ini juga mengarah ke tiga tersangka lain yakni Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapeda) Musyaffa, Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKAD) Suriansyah dan Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU) Aswandini. 

Lalu siapa yang memberikan suap ini kepada para tersangka tersebut? Dari penyelidikan KPK mengarah ke dua nama yakni Aditya Maharani dan Deky Aryanto selaku rekanan proyek. Tujuannya pemberian suap tak lain memuluskan langkah untuk dapatkan proyek tahun anggaran 2019-2020. Dari kasus ini, kata Castro, setidaknya mengajarkan tentang beberapa hal krusial, misalnya soal dunia politik punya biaya tinggi (high cost politic). Gara-gara ini pula perilaku korup kepala daerah terjadi. Ujungnya segala cara digunakan oleh para kandidat demi kumpulkan rupiah. Khusunya petahana.

“Hasil kajian Litbang Kemendagri 2015 menunjukkan untuk menjadi wali kota/bupati dibutuhkan mencapai Rp20-30 miliar, sementara untuk gubernur lebih fantastis berkisar Rp20-100 miliar. Ongkos ini tentu tak sepadan dengan gaji kepala daerah,” tegasnya.

Baca Juga: KPK: OTT Bupati Kutai Timur Hasil Sadapan Pertama Usai UU Direvisi

2. OPD di daerah kerap dijadikan sapi perah oleh kepala daerah untuk kepentingan pilkada

Pilkada Serentak (Dok. IDN Times/KPU RI)

Hal lain kata Castro ialah, pertanda masih kuatnya politik transaksional dalam proses pengadaan barang dan jasa. Ini semacam jatah preman atau upeti yang diberikan sebagai tiket untuk memenangkan tender barang dan jasa. Tradisi macam ini jelas akan melanggengkan tindakan korup dalam pengadaan barang dan jasa. Keterlibatan 3 unsur organisasi perangkat daerah (OPD) dalam kasus OTT ini, yakni Bapenda, BPKAD, dan Dinas PU menandakan OPD-OPD telah menjadi sapi perah kepala daerah. Dengan kata lain OPD ini hanya dijadikan bancakan untuk memperkaya pundi-pundi modal politik jelang pilkada. 

“Kepala daerah cenderung menggunakan pengaruhnya untuk mengatur lalu lintas pemenang tender barang dan jasa, demi mendapatkan keuntungan pribadi dan kelompoknya,” imbuhnya.

Baca Juga: Bupati Kutim Terjaring OTT KPK, Gubernur Isran Noor: Semoga Terakhir!

Berita Terkini Lainnya