Cerita Penyanyi di Samarinda yang Terdampak Pandemik COVID-19

Nyaris tiap hari makan mi, memilih tak pulang kampung

Samarinda, IDN Times - Petikan gitar dari lagu Bed of Roses mengiringi suara indah Richardus Rony Paran di kafe Jalan KH Abul Hasan, Kelurahan Pasar Pagi, Kecamatan Samarinda Kota tujuh tahun lalu. Meski sudah menginjak tahun 2020, namun ingatan itu masih segar hingga sekarang. Terlalu membekas. Sebab masa itulah ia memulai karier sebagai penyanyi profesional. Saat kawannya memberikan tawaran bernyanyi di luar daerah.

“Iya kalau aku gak ngambil tawaran kawan saat itu, aku gak mungkin bisa bernyanyi keliling ke kota orang lain,” ujar Rony, sapaan karibnya saat dihubungi IDN Times pada Senin siang, 14 September 2020.

1. Rony pilih bernyanyi demi mendapatkan rupiah

Cerita Penyanyi di Samarinda yang Terdampak Pandemik COVID-19Ilustrasi kafe. unsplash.com/@daanelise

Apabila tawaran dari kawan itu ditolak, pemuda 33 tahun ini tentu tak bisa menyekolahkan adiknya hingga tingkat universitas. Menjadi anak pertama memang harus serba bisa. Termasuk peran sebagai kepala keluarga pengganti. Kedua orangtua Rony hanya bertani, tak banyak rupiah bisa dihasilkan dari pekerjaan ini. Hanya cukup untuk kehidupan sehari-hari. Sebelum ikut dengan kawannya ke luar daerah, Rony punya dua aktivitas. Bernyanyi di pesta pernikahan (wedding singer) dan kafe.

“Dua kegiatan itu saya harus jalani. Mau gak mau, karena memang tak ada pilihan lain,” ujarnya dengan nada sedih.

Hanya lewat suara, Rony bisa mendapat rupiah. Kini pemuda kelahiran Samarinda 1987 silam itu berada di Surabaya, beberapa bulan sebelumnya dia dan kawan-kawannya bernyanyi di Batam. Baginya melantunkan lagu adalah hal terindah, lebih-lebih yang mendengarkan kemudian tersenyum. Alumnus SMA Katolik Wage Rudolf Soepratman ini memang cinta bernyanyi. Persinya usia 5 tahun, sudah mulai menirukan penyanyi di televisi. Duduk di bangku SD ikut paduan suara, pun demikian dengan SMP dan SMA. Pada masa itu, lomba jadi cara menguji diri. Pantas atau tidak masuk pentas.

“Awalnya emang gak percaya diri, tapi vocal coach terus memberikan semangat akhirnya berani ikut lomba,” imbuhnya.

2. Pernah dapat diploma emas saat berkompetisi di Amerika Serikat

Cerita Penyanyi di Samarinda yang Terdampak Pandemik COVID-19Penyanyi Rony saat beraksi di panggung. Pemuda asal Samarinda ini juga tak bisa berbuat banyak saat wabah corona menyerbu (Dok.IDN Times/Istimewa)

Kompetisi adu suara indah itu dilaksanakan oleh ragam entintas. Mulai dari pemerintah dan swasta. Bila tak juara pertama maka sudah pasti yang kedua dan ketiga. Misal kompetisi 2007 lalu oleh Radio Heartline, kemudian Bintang Radio bersama RRI Samarinda. Khusus kontes ini, Rony bisa sampai tingkat nasional. Nyaris semua kejuaraan dia ikuti. Gara-gara hobi ini pula Rony bisa menginjakkan kaki ke Cincinnati, Ohio, Amerika Serikat pada 4 Juni 2012 lalu bersama Ensemble Choir (sekarang, Borneo Cantata) mengikuti kompetisi paduan suara antardunia (World Choir Games). Ribuan paduan suara turut serta, termasuk dari Indonesia tak terkecuali Samarinda, Kaltim ikut ambil bagian.

“Puji Tuhan, waktu itu kami mendapat gold diploma, juara umumnya dari Afrika Selatan,” lanjutnya.

Baca Juga: Dua Bupati di Kaltim Terkonfirmasi Positif COVID-19 dalam Empat Hari

3. Nyaris makan mi tiap hari saat corona, pilih tak pulang demi keluarga

Cerita Penyanyi di Samarinda yang Terdampak Pandemik COVID-19Sebastian Schuppik on Unsplash" target="_blank">Ilustrasi cafe (unsplash.com/Sebastian Schuppik)

Prestasi ini pula yang membuatnya makin percaya diri, memilih dunia tarik suara sebagai jalan hidup. Hingga akhirnya memilih tinggalkan Samarinda ke daerah lain demi keluarga. Meski demikian, dia sadar persaingannya ketat. Pasalnya, tak hanya dia yang dilahirkan dengan suara emas. Orang lain tentu ada yang diberikan talenta senada. Dengan kata lain tak begitu menjanjikan, tapi hanya bernyanyi yang Rony paling tahu. Bertahun-tahun dia menekuni bidang ini. Namun tahun inilah yang paling menyakitkan. Karena pandemik virus corona atau COVID-19 penghasilannya tak ada. Maklum semua café ditutup selama wabah corona menyerbu tiga bulan lalu. Karena tak ada pemasukan, uang tabungan jadi sasara. Namun kakak dari dua saudara ini tak pernah menyesal. Dia juga tak pilih pulang ke Samarinda karena virus corona. Takut menjadi carrier, makanya tetap pilih di Surabaya. Nyaris tiap hari makan mi instan. Tapi sekarang sudah masuk adaptasi kebiasaan baru. Jadi perlahan-lahan mulai merubah menu makanan. Namun syukur selalu terucap. Lebih baik daripada tak sama sekali.

“Puji Tuhan ada lah penghasilan, walaupun tak seperti sebelumnya. Corona kan belum hilang, mungkin orang masih takut keluar rumah,” sebutnya.

Dia pun berharap, virus ini segera berkurang karena tak hanya pekerja seni yang terganggu. Semua lini jadi sasaran. Itu sebab dia minta warga selalu taat dengan protokol kesehatan. Pakai masker, jaga jarak saat berada di kerumunan dan rajin cuci tangan.

“Mari kita menjaga diri dan sesama," pungkasnya.

Baca Juga: 100 Klaster Keluarga COVID-19 Ada di Kaltim, Terbanyak dari Samarinda

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya