Diremehkan karena Usia di Kantor? Perusahaan Perlu Lawan Ageisme

Pernah merasa diremehkan di tempat kerja karena usia yang dianggap terlalu muda atau justru terlalu tua? Perlakuan diskriminatif semacam ini dikenal dengan istilah ageisme, yakni penilaian terhadap seseorang berdasarkan usia, bukan kemampuan.
Bagi pekerja muda, ageisme kerap muncul dalam bentuk pengabaian pendapat karena dianggap minim pengalaman. Sementara itu, karyawan yang lebih senior sering kali dicap ketinggalan zaman, sulit beradaptasi, atau kurang inovatif. Padahal, setiap pekerja seharusnya dinilai dari kinerja dan kontribusinya, bukan faktor usia.
Perilaku toksik seperti ini perlu segera diatasi karena dapat menciptakan lingkungan kerja yang tidak sehat. Untuk melawan ageisme, terdapat sejumlah langkah yang dapat diterapkan di tempat kerja.
1. Mendorong inklusivitas

Ageisme umumnya berakar dari stereotip dangkal terhadap kelompok usia tertentu. Oleh karena itu, mendorong interaksi lintas generasi menjadi langkah penting untuk membangun suasana kerja yang positif dan harmonis. Dengan mengedepankan budaya kerja yang menghargai keberagaman, perusahaan dapat mengoptimalkan potensi dari seluruh karyawan, tanpa memandang usia.
Inklusivitas juga berperan besar dalam menumbuhkan rasa memiliki di lingkungan kerja. Mengakui nilai tambah dari keterampilan dan pengalaman setiap individu akan membuat karyawan merasa dihargai. Kondisi ini pada akhirnya dapat meningkatkan motivasi, keterlibatan, dan komitmen terhadap pekerjaan.
2. Memberikan pelatihan dan edukasi

Selain itu, perusahaan perlu mengambil langkah proaktif melalui pelatihan dan edukasi. Workshop atau sesi pembelajaran terkait bias usia dan ageisme dapat meningkatkan kesadaran karyawan tentang pentingnya kerja sama lintas generasi. Pelatihan semacam ini juga bertujuan menantang stereotip yang masih kerap melekat di dunia kerja.
Melalui edukasi yang tepat, karyawan dapat memahami bagaimana bias usia dapat menghambat kolaborasi dan menurunkan produktivitas. Lebih dari itu, pelatihan ini mendorong dialog terbuka dan empati antarkaryawan, sehingga tercipta budaya kerja yang lebih inklusif dan suportif.
3. Menerapkan praktik perekrutan yang adil

Dalam proses rekrutmen, ageisme sering muncul dalam anggapan bahwa kandidat yang lebih tua cenderung sulit berubah atau kurang inovatif. Bias semacam ini berpotensi merugikan perusahaan. Idealnya, penilaian kandidat didasarkan pada keterampilan, pengalaman, dan potensi kontribusi, bukan usia.
Perusahaan perlu memastikan proses rekrutmen dan seleksi berlangsung adil dan objektif. Pertanyaan terkait usia sebaiknya dihindari dalam wawancara kerja. Fokus utama harus tertuju pada kualifikasi dan kemampuan yang relevan dengan posisi yang dibutuhkan. Dengan pendekatan ini, perusahaan dapat membangun tim yang beragam dan inovatif.
4. Mendorong kolaborasi antar generasi

Kolaborasi lintas generasi juga menjadi kunci penting dalam menciptakan lingkungan kerja yang dinamis. Salah satu cara efektif adalah melalui program mentoring dua arah, di mana karyawan muda dan senior dapat saling berbagi pengetahuan dan pengalaman.
Karyawan muda dapat menyumbangkan keahlian teknologi serta perspektif baru, sementara karyawan senior berbagi wawasan dan pengalaman profesional. Interaksi semacam ini tidak hanya memperkaya sudut pandang, tetapi juga mendorong lahirnya solusi inovatif.
5. Mengatasi perilaku yang merendahkan usia

Di sisi lain, penanganan terhadap pelaku ageisme harus dilakukan secara tegas. Setiap pernyataan atau komentar yang merendahkan berdasarkan usia perlu segera direspons. Langkah ini penting untuk menegaskan bahwa diskriminasi usia tidak dapat ditoleransi di lingkungan kerja.
Diskusi terbuka mengenai usia dan keberagaman perlu terus didorong agar setiap karyawan merasa dihormati. Dengan memperlakukan rekan kerja secara adil, tanpa memandang usia, perusahaan dapat membangun rasa kebersamaan dan kerja sama tim yang kuat.
Ageisme di tempat kerja tidak hanya merugikan karyawan, tetapi juga berdampak negatif bagi perusahaan. Penerapan kebijakan yang inklusif, penghargaan berbasis kinerja, proses rekrutmen yang bebas bias, serta perlakuan adil dalam pengelolaan sumber daya manusia menjadi langkah penting untuk menghapus diskriminasi usia dan menciptakan lingkungan kerja yang sehat.


















