Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Tambang di Kalimantan Kebablasan, Kelompok Sipil Mendesak Moratorium

Ilustrasi Tambang  (IDN Times/Aditya Pratama)
Ilustrasi Tambang (IDN Times/Aditya Pratama)

Samarinda, IDN Times - Desakan moratorium izin tambang kembali menguat, kali ini datang dari Pulau Kalimantan yang selama ini menjadi pusat kegiatan ekstraktif nasional—mulai dari minyak dan gas bumi, batu bara, bauksit hingga komoditas tambang lainnya. Di balik besarnya kontribusi sektor tambang terhadap pendapatan negara, Kalimantan kini menghadapi krisis ekologis yang kian memburuk dan berdampak langsung pada kehidupan masyarakat.

Seruan moratorium mengemuka dalam diskusi media bertajuk “Urgensi Moratorium Izin Tambang: Mendorong Perbaikan Tata Kelola Minerba dan Penertiban Tambang Ilegal di Pulau Kalimantan” yang digelar Koalisi Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Regional Kalimantan di Pontianak, Kalimantan Barat, 28 November 2025.

1. Pertambangan hanya untungkan segelintir orang

Pertambangan.
ilustrasi foto di dunia pertambangan (unsplash.com/Dominik vanyik)

Gemawan Kalimantan Barat menilai aktivitas pertambangan justru lebih banyak menguntungkan segelintir pihak, sementara dampak negatifnya dirasakan luas oleh masyarakat.

“Komunitas lokal dan masyarakat adat tidak menerima manfaat signifikan, justru menjadi korban kerusakan ekologi. Krisis ekologis di Kalbar harus menjadi alarm bagi pemerintah untuk melakukan moratorium izin tambang,” ujar Kepala Divisi Training and Learning Centre (TLC) Gemawan Kalbar, Arniyanti.

Menurutnya, moratorium diperlukan untuk membuka ruang evaluasi menyeluruh agar tata kelola tambang lebih berkeadilan dan memperhatikan keberlanjutan ekologi.

2. Pemerintah dianggap terlalu fokus terbitkan izin tambang

Ilustrasi tambang.
ilustrasi tambang (shutterstock.com)

WALHI Kalbar menyoroti bahwa pemerintah terlalu fokus menerbitkan izin tambang tanpa mempertimbangkan ruang hidup masyarakat adat. Kepala Divisi Wilayah Kelola Rakyat WALHI Kalbar, Andre Illu, menyebut negara memandang ruang sebagai “wilayah kosong” untuk investasi, bukan sebagai tempat masyarakat hidup dan bergantung.

“Pemerintah gagal menata ruang secara adil. Moratorium memang bukan solusi akhir, tetapi setidaknya memberi ruang untuk memperbaiki tata kelola dan menyelamatkan komunitas,” ujarnya.

3. Lubang tambang di Kaltim menelan korban jiwa

Lokasi hilangnya Bayu Setiawan, korban ke-37 di lubang yang diduga bekas tambang batu bara di Samarinda (Dok. Jatam Kaltim)
Lokasi hilangnya Bayu Setiawan, korban ke-37 di lubang yang diduga bekas tambang batu bara di Samarinda (Dok. Jatam Kaltim)

Di Kalimantan Timur, Pokja 30 menyoroti dua masalah besar: buruknya implementasi reklamasi tambang dan minimnya keterbukaan informasi publik. Koordinator Pokja 30, Buyung Marajo, menyebut banyak perusahaan tidak melakukan reklamasi sesuai ketentuan. Bahkan lubang-lubang tambang yang dibiarkan terbuka telah menelan korban jiwa, termasuk anak-anak.

“Pengawasan pemerintah lemah. Biaya reklamasi tinggi, perusahaan enggan. Izin tambang terlalu banyak, rakus lahan, dan menggusur ruang hidup rakyat. Sementara kesejahteraan masyarakat lingkar tambang hampir tidak terlihat,” katanya.

Buyung juga menilai akses informasi pertambangan sangat sempit dan prosedur permohonannya berbelit. “Cukup sudah perizinan diberikan. Saatnya moratorium. Yang tidak patuh harus ditindak tegas,” tegasnya.

4. Dampak negatif pertambangan bagi keanekaragaman hayati

Lubang baru bekas galian lubang tambang liar di Samarinda Kaltim. (IDN Times/Nina)
Lubang baru bekas galian lubang tambang liar di Samarinda Kaltim. (IDN Times/Nina)

PADI Indonesia Kaltim menyoroti dampak tambang terhadap hilangnya keanekaragaman hayati dan krisis yang dialami masyarakat adat. Kaltim memiliki 38 persen cadangan batu bara nasional, dengan 1,5 juta hektare konsesi tambang—29 persen berada di ekosistem hutan, termasuk hutan primer.

Koordinator PADI Indonesia Kaltim, Among, menyebut tambang menyebabkan hilangnya sumber penghidupan seperti pertanian dan perburuan, krisis air bersih, meningkatnya konflik satwa-manusia, hingga kriminalisasi terhadap masyarakat adat yang mempertahankan haknya.

“Kerusakan sumber daya alam menghancurkan ruang hidup masyarakat adat. Mereka justru dikriminalisasi saat memperjuangkan wilayahnya,” ujarnya.

5. Desakan moratorium terjadi di seluruh Indonesia

Lubang baru bekas galian lubang tambang liar di Samarinda Kaltim. (IDN Times/Nina)
Lubang baru bekas galian lubang tambang liar di Samarinda Kaltim. (IDN Times/Nina)

PWYP Indonesia mencatat, desakan moratorium juga datang dari organisasi masyarakat sipil di Sumatra, Jawa, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku Utara, dan Papua. Semua menyuarakan persoalan yang sama: masifnya izin tambang, lemahnya pengawasan, dan kerusakan ekologis yang terus bertambah.

“Moratorium adalah kebutuhan mendesak. Pemulihan lingkungan tidak sebanding dengan laju penerbitan izin. Pengawasan dan penegakan hukum lemah, dan yang terjadi justru kerusakan ekologis yang merugikan masyarakat,” kata Peneliti PWYP Indonesia, Ariyansah NK.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Sri Gunawan Wibisono
EditorSri Gunawan Wibisono
Follow Us

Latest News Kalimantan Timur

See More

Tambang di Kalimantan Kebablasan, Kelompok Sipil Mendesak Moratorium

01 Des 2025, 13:00 WIBNews