TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

YLKI: Labelisasi BPA Free Adalah Hak Asasi Konsumen

Wawancara YLKI tentang pelabelan BPA Free galon guna ulang

Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi. (antaranews.com/Dewanto Samodro)

Balikpapan, IDN Times - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) aktif dalam memberdayakan konsumen dan memajukan negeri sudah terjalin sejak 1973. Kiprah yayasan ini sudah diperhitungkan dalam menyuarakan kepentingan konsumen.

YLKI tidak jarang harus bersuara keras melawan kepentingan industri dari isu soal pelabelan Bisfenol-A (BPA) Free di Badan Pengawas Obat dan Makanan, standarisasi garam gula lemak di Kementerian Kesehatan, hingga truk-truk over dimension overload (ODOL) di Kementerian Perhubungan.

Kali ini, reporter IDN Times akan wawancara langsung Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi jelang peresmian aturan tentang pelabelan galon gula ulang dengan BPA Free serta intrik penolakan dari asosiasi industri air minum dalam kemasan (AMDK).  

Baca Juga: Razia Angkutan Darat, Tim Terpadu Amankan Truk ODOL di Kaltim

1. Tentang BPOM

IDN Times/Helmi Shemi

Bagaimana anda menilai soal BPOM? 

Secara umum BPOM sudah sangat kredibel dalam upaya melindungi konsumen, khususnya dalam kontrol pasar. Dari beberapa kasus-kasus (ditangani BPOM) muncul di masyarakat maupun operasi pasar, dibanding Kemendag (Kementerian Perdagangan), Dinas Perdangan, dan Dinkes.

Saya kira BPOM jauh lebih objektif dan konsisten dalam melakukan pengawasan dan kontrol terhadap tupoksi (tugas pokok fungsi) mereka. 

Misalnya, bila muncul suatu kasus muncul di publik, BPOM biasanya sudah mempunyai sikap resmi dalam suatu kasus untuk disampaikan kepada publik. 

Apa dasar anda dalam opini tentang BPOM ini?

Kemudian juga dari sisi penghargaan-penghargaan, baik dari KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) dalam aspek transparansi dan akuntabilitasnya paling tinggi BPOM ini sejak dulu sampai sekarang. 

Semua itu berdasarkan penilaian interaksi bersama BPOM dan score-score penilaian yang saya monitor. Mayoritas di dalam BPOM di antaranya perempuan ya, sehingga militansi dalam melaksanakan tugas dan fungsinya kepegawaiannya itu lebih bagus kayaknya (sambil tertawa).

Menjalankan tugas dengan hati!

2. Penolakan dari pelaku industri dan Aspadin dalam pelabelan BPA Free

akuratnews

Rencana BPOM menerbitkan aturan soal BPA Free ke galon guna ulang memperoleh penolakan dari industri dan Aspadin (Asosiasi Perusahaan Air Minum dalam Kemasan). Bagaimana pendapat anda?

Kalau itu sih gak aneh ya, selaku asosiasi perusahaan, kalau akan diatur dan regulasinya ditingkatkan pasti akan mencoba untuk melawan, di semua sektor seperti itu, jadi bukan sesuatu yang aneh. Baik Aspadin, Gapmmi (Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia), dan yang lain bila ada regulasi baru pasti akan mencoba habis-habisan untuk mendelay atau menggagalkan regulasi itu. 

Jadi misalnya, Kemenkes atau Badan Kebijakan Fiskal akan membuat kebijakan cukai plastik, minuman terkena cukai, mereka ini kan akan melawan. Sekarang ga usah jauh-jauh, yang masih baru lah, Kemenkes sampai sekarang tidak mau menerapkan kebijakan pengendalian atau standarisasi kandungan bahan garam, gula, dan lemak.

Mereka (asosiasi) kan akan melawan. Padahal itu kan dimensinya untuk kesehatan. 

Sampai sekarang aturan ini tidak berjalan, karena Kemenkesnya nyalinya kecil sehingga perlawanan Gapmmi juga keras. Sampai sekarang tidak dilakukan. Padahal aturan ini harus segera dilakukan, karena penyakit tidak menular saat ini kan tinggi, kaitan persoalan gaya hidup. 

Kenapa begitu sulit dalam menerbitkan suatu aturan dalam memberikan perlindungan pada konsumen?

Kementerian Perindustrian bahkan menjadi barrier (penghalang) bagi Kementerian Kesehatan dan BPOM ketika akan membuat standarisasi lebih tinggi, dengan tesis bahwa itu akan menurunkan kinerja industri dan sebagainya. Padahal itu tidak terbukti, mosok melindungi kesehatan masyarakat tidak boleh?

Kaitan kasus BPA ini kan untuk meningkatkan standarisasi kesehatan bagi konsumen dalam konteks informasi maupun peningkatan standar lebih tinggi.

Standar peluruhan BPA ke makanan-minuman sebesar 0,6 mg/kg itu kan memang tidak melanggar. Tetapi bila standarnya semakin tingginya akan semakin baik. 

Meskipun memang dalam konteks industri dan BPOM sudah mengkaji itu sehingga akan ada masa transisi bagi mereka untuk persiapan secara infrastruktur dan sumber daya manusia. 

3. YLKI mendukung BPOM dalam kaitan perlindungan konsumen

Ketua Harian YLKI Tulus Abadi memberikan keterangan pers. (IDN Times/Indiana Malia)

Bagaimana sikap YLKI sendiri kepada BPOM dalam kaitan perlindungan konsumen?

Kalau YLKI melindungi BPOM dalam kaitan perlindungan konsumen, ya sudah seharusnya. Kalau perlu nanti disasar yang lain-lain, dari BPA dan kontaminan-kontaminan lain yang masuk ke dalam tubuh kita. Memang kalau per sektor tidak melanggar batas maksimum ditentukan, tetapi kalau terakumulasi dalam kurun waktu tertentu akan membawa dampak negatif bagi tubuh kita. 

Kaitan survei galon guna ulang di mana BPOM ada kandungan BPA , terminologi sangat mengkhawatirkan itu harus sangat clear. Angkanya berapa? Saya tidak melihat angkanya berapa, apakah 0,6  atau di atas 0,6 atau seperti apa? Harus tegas angkanya agar masyarakat juga perlu tahu itu. 

Bagaimana sih perhitungan riil tentang batas ambang batas galon guna ulang?

Batas ambang 0,6 mg/kg itu kan untuk konteks produksi ya, belum dihitung konteks distribusi dan display. Kalau prosesnya tidak memenuhi standar, itu (batas ambang) bisa meningkat. Karena terpapar sinar matahari, terpapar sumber panas lain, terpapar bau, dan proses penyimpanannya seperti apa juga.

Kami sendiri juga akan melakukan survei untuk melihat (proses produksi) ulang dari hulu hingga hilir industri AMDK itu.  Kalau produksinya sudah betul, tetapi kalau dari tengah hingga hilirnya tidak betul, akhirnya membuat terkontaminasi lebih tinggi. 

Aspadin dalam sebuah wawancara di televisi menyebutkan, pada dasarnya tidak ada  batas kedaluwarsa (pada galon guna ulang). Menurut saya itu aneh, wong tabung elpiji saja ada batas kedaluwarsa, mosok galon untuk makanan tidak kedaluwarsa? Untuk perut kita, makanan kita. Mereka (Aspadin) mengatakan sekitar 60 kali batas pemakaian. Siapa bisa mengontrol batas penggunaan tabung hanya 60 kali? 

Baca Juga: Kasus COVID-19 Terus Meningkat di Kaltim, Warga Diminta Waspada

Berita Terkini Lainnya