TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Polemik Pemulangan ISIS Eks WNI, Akademisi Unmul Usulkan 3 Alternatif

ISIS bukan negara melainkan teroris dan pemberontak

Ilustrasi ISIS (IDN Times/Arief Rahmat)

Samarinda, IDN Times - Wacana pemulangan ratusan anggota Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) eks Warga Negara Indonesia (WNI) menuai pro dan kontra. Ada yang menolak dengan dalih terorisme, atau sepakat menerima kepulangan mereka karena urusan hak asasi manusia atau HAM. Bahkan Presiden Joko ‘Jokowi’ Widodo menyatakan sikap penolakan, kendati tetap ingin mengkaji lebih lanjut wacana tersebut.

“Itu artinya persoalan ini tak bisa dipandang sebelah mata karena dalil subjektivitas,” ucap Pakar Hukum Internasional Universitas Mulawarman (Unmul) Mahendra Putra Kurnia saat dikonfirmasi pada Rabu (12/2).

1. Menolak atau menerima harus dikaji agar tak menimbulkan persoalan internasional

(IDN Times/Arief Hidayat)

Dia tak mau menyangkal bahwa sebagian masyarakat Indonesia trauma dengan urusan radikalisme.

Maklum saja beberapa kali negara ini berurusan dengan jaringan terorisme, paling besar yaitu tragedi Bom Bali pada 2002 atau Bom Kuningan dua tahun setelahnya persisnya 2004. Belum lagi petaka serupa pernah terjadi di Samarinda, Kaltim di Gereja Oikumene pada 2016 lalu.

Namun perlu diingat, ketika mantan anggota ISIS ini dibiarkan, bukan tak mungkin Indonesia bertemu masalah baru pada masa mendatang. Alasannya, eks ISIS tak hanya dari Indonesia saja dari negara lain juga ada. Jika ratusan WNI eks ISIS ditolak oleh negaranya kemudian eksodus ke negara lain, apa yang terjadi?

“Masalah internasional,” tegasnya.

2. Tiga pilihan ditawarkan, paling utama urusan hak asasi manusia

Ilustrasi pemulangan ISIS (IDN Times/Arief Rachmat)

Itu sebabnya, Dekan Fakultas Hukum Unmul ini menyarankan tiga pilihan atau opsi kepada pemerintah, sebab urusan pemulangan anggota ISIS eks WNI tak bisa dipandang dengan satu variabel.

Pertama, pengkajian harus dilakukan saksama sebab ini bertalian dengan bibit radikalisme atau terorisme. Bukan tak mungkin selama bersama ISIS, indoktrinasi terjadi dan itu berbahaya jika dibiarkan

Selanjutnya masalah kewarganegaraan, sepanjang eks ISIS asal Indonesia belum kehilangan status kewarganegaraannya, maka negara punya kewajiban memberi perlindungan tanpa memandang latar belakang.

Dan terakhir ialah berkaitan dengan urusan terorisme. Dalam UU No 5/2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme diatur mengenai proses hukumnya, jadi tak menjadi soal. Selanjutnya, bisa dilanjutkan dengan mereduksi paham-paham terorisme yang selama ini dianut.

“Namun paling utama dari ketiga opsi itu adalah hak asasi manusia, perlu diingat WNI eks ISIS ini bukan barang, tapi manusia,” tuturnya.

3. ISIS bukan negara tapi teroris dan pemberontak

(Forum Selamatkan NKRI-DIY melakukan aksi damai di kawasan Malioboro, Yogyakarta, Jumat (7/2/2020) menolak kembalinya kombatan ISIS ke Indonesia) ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko

Meski demikian kompeleksitas pemulangan kombatan ISIS asal Indonesia mengacu pada Pasal 23 poin d, UU No 12/2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Dalam poin pasal itu ditegaskan jika WNI akan kehilangan kewarganegaraanya bila yang bersangkutan masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari presiden.

Kata Mahendra, tak ada yang salah dengan klausul tersebut, yang menjadi soal ialah ISIS bukan negara bila diperhatikan dari subjek hukum internasional. Kelompok tersebut adalah pemberontak dan teroris, dengan demikian secara konstitusi eks ISIS itu masuk kategori pembelot.

“Jadi sekali lagi, ISIS bukan negara karena tak ada unsur-unsur yang memenuhi untuk disebut sebagai negara,” sebutnya.

Baca Juga: Tutup Pintu Pemulangan 600 Anggota ISIS Eks WNI

Berita Terkini Lainnya