Akademisi: Saatnya Samarinda Bangun Transportasi Massal Terintegrasi

Samarinda, IDN Times – Kota Samarinda tengah berpacu menjadi kota metropolitan. Namun di balik geliat pembangunan dan meningkatnya aktivitas ekonomi, tantangan besar justru muncul di sektor transportasi. Pertumbuhan kendaraan bermotor yang mencapai sekitar 99 ribu unit per tahun atau naik 9–10 persen tiap tahunnya telah menekan kapasitas jalan yang terbatas.
Hingga 2025, total panjang jalan di Samarinda hanya 881,30 kilometer, dengan rasio kepadatan mencapai 1.150 kendaraan per kilometer. Kondisi ini, menurut para ahli transportasi, menjadi sinyal bahwa kota ini sudah mendesak membutuhkan sistem transportasi massal yang terintegrasi dan efisien.
1. Transportasi publik Samarinda masih sangat lemah

Dosen Universitas Mulawarman sekaligus Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Kaltim, Tiopan H.M. Gultom menyebut akar masalah transportasi di Samarinda adalah absennya sistem angkutan umum yang mapan.
“Tekanan terhadap infrastruktur jalan sudah sangat berat, sementara sistem transportasi publik belum benar-benar hadir sebagai solusi,” ujarnya.
Data indeks kesejahteraan infrastruktur 2024 menunjukkan kondisi Samarinda termasuk kategori tidak sejahtera. Penggunaan transportasi publik tercatat hanya 0,0006 persen, dengan waktu perjalanan rata-rata mencapai 79 menit per hari. Panjang jalur transportasi massal pun masih nol kilometer, dan skor mobilitas kota hanya 29,95 persen.
Sebaliknya, tingkat keselamatan lalu lintas dan keterjangkauan transportasi cukup kuat, namun belum mampu mengimbangi lemahnya mobilitas warga. “Pemerintah perlu segera memperbaiki sarana dan prasarana transportasi massa agar mobilitas warga meningkat,” tambah Gultom.
2. BRT dianggap solusi paling realistis dan efisien

Berdasarkan kajian Masyarakat Transportasi Indonesia, Bus Rapid Transit (BRT) menjadi moda paling realistis bagi Samarinda dibanding MRT, LRT, maupun Commuter Line. Selain hemat biaya, sistem ini memiliki daya angkut besar dan waktu implementasi yang lebih cepat.
“BRT adalah pilihan paling logis untuk Samarinda, baik dari aspek biaya, waktu pembangunan, maupun fleksibilitas rute,” kata Gultom.
Secara kapasitas, BRT mampu melayani 3.000–45.000 penumpang per jam per arah, setara dengan kereta komuter. Biaya konstruksinya pun jauh lebih rendah, yakni USD 1 juta–15 juta per kilometer, dibanding MRT yang bisa menelan hingga USD 500 juta per kilometer.
Selain efisien, BRT juga berdampak sosial-ekonomi positif. Sistem ini dapat menyerap 10–20 tenaga kerja per kilometer jalur dan meningkatkan mobilitas warga secara langsung. “Contoh suksesnya bisa dilihat di Bogotá lewat TransMilenio, yang murah dalam pemeliharaan namun sangat efektif,” ujar Gultom.
3. Lima pilar strategis menuju Samarinda yang terhubung

MTI merumuskan lima pilar utama sebagai strategi implementasi BRT yang terintegrasi dan berkelanjutan. Pilar pertama adalah aspek teknis, yakni jalur khusus steril di median jalan dengan halte terhubung skybridge dan pedestrian ramah pejalan kaki. Bus berlantai rendah disiapkan agar aksesibel bagi anak-anak, lansia, dan penyandang disabilitas.
“Angkutan kota diarahkan menjadi feeder menuju halte BRT, dan sistem digital akan mengatur jadwal, pembayaran non-tunai, hingga informasi real-time,” jelas Gultom.
Pilar kedua mencakup pendanaan berkelanjutan, dengan kombinasi skema KPBU, APBN/APBD, serta pungutan seperti congestion charge atau carbon tax. Targetnya adalah Farebox Recovery Ratio (FRR) sebesar 60–80 persen agar sistem tetap sehat dan efisien.
Ketiga, kelembagaan yang kuat diperlukan melalui pembentukan dua badan: lembaga pembangunan masterplan dan lembaga pengelola operasional (bisa berupa BLUD atau BUMD). Pilar keempat, regulasi penunjang, mencakup penegakan ETLE di jalur BRT serta dorongan penggunaan bus listrik dan energi ramah lingkungan.
Terakhir, tata kelola yang akuntabel harus diterapkan melalui pengukuran indikator kinerja utama seperti ketepatan waktu, kepuasan penumpang, efisiensi operasional, dan pengurangan emisi. Armada BRT wajib diperemajakan setiap 10–15 tahun, dengan pelatihan berkala bagi pengemudi.
4. Transportasi massal bisa turunkan biaya hidup warga

Kehadiran sistem transportasi massal diharapkan dapat menekan biaya transportasi keluarga di Samarinda yang kini mencapai sekitar Rp2 juta per bulan, atau sekitar 40 persen dari pendapatan rata-rata Rp5 juta per keluarga.
“BRT bukan hanya proyek infrastruktur, tapi bagian dari transformasi menuju mobilitas perkotaan yang cerdas dan berkeadilan,” ujar Gultom.
Dengan dukungan pemerintah, swasta, akademisi, dan masyarakat, BRT diharapkan menjadi langkah nyata menuju Samarinda yang lebih maju, terhubung, dan berkelanjutan.
“Kota modern tak hanya soal gedung tinggi, tapi juga tentang mobilitas yang manusiawi, terjangkau, dan berkelanjutan,” tegas Gultom.