Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

PMI Rentan Eksploitasi, Negara Dinilai Belum Hadir Sepenuhnya

WhatsApp Image 2025-08-01 at 22.26.00.jpeg
Koordinator Jaringan Buruh Migran Indonesia Sringatin, saat menjadi pembicara pada Diskusi bertajuk "Migrasi yang Efektif untuk Pekerja Migran Indonesia (PMI)" dalam Kongres Diaspora Indonesia ke-8 di Ibu Kota Nusantara (IKN), Jumat (1/8/2025). (IDN Times/Erik Alfian)

Nusantara, IDN Times – Diskusi bertajuk "Migrasi yang Efektif untuk Pekerja Migran Indonesia (PMI)" dalam Kongres Diaspora Indonesia ke-8 di Ibu Kota Nusantara (IKN), Jumat (1/8/2025), mengungkap berbagai tantangan yang masih dihadapi para PMI, mulai dari biaya migrasi yang tinggi hingga minimnya perlindungan hukum.

Salah satu pembicara Utama, Sringatin pekerja migran asal Blitar yang telah 22 tahun bekerja di Hong Kong, yang juga merupakan Koordinator Jaringan Buruh Migran Indonesia, mengatakan bahwa meskipun PMI menyumbang remitansi besar bagi Indonesia, keberadaan mereka kerap dipinggirkan dalam kebijakan publik.

“Tapi pengorbanan kami seolah tak dihargai. Kami sering dihakimi, disebut tega meninggalkan anak, padahal ini kami lakukan demi masa depan keluarga,” ujar Sringatin.

1. Biaya tinggi dan proses rumit

ilustrasi biaya tinggi (freepik.com/ ete_escape)
ilustrasi biaya tinggi (freepik.com/ ete_escape)

Menurut Sringatin, proses migrasi yang dilalui calon PMI terlalu rumit, berisiko dan mahal. Ia menyebut calon PMI bisa membayar potongan Rp28 hingga 40 juta untuk penempatan—setara satu tahun gaji buruh di Jawa. Padahal, sejak 2017, pemerintah selalu berupaya meyakinkan bahwa pengurusan untuk menjadi pekerja migran tidak berbayar.

Selain itu, ada setidaknya 15 syarat administratif, termasuk pelatihan selama 400 jam yang sering berlangsung hingga satu tahun. “Visa bisa butuh waktu 1,5 bulan. Untuk pekerja rumah tangga migran, mereka wajib lewat PJTKI, dan dokumen penting seperti kartu keluarga, ijazah, dan surat nikah bisa ditahan pihak perusahaan,” tambahnya.

Rumitnya regulasi ini, kata Sringatin menjadi celah oknum calo untuk menggaet calon pekerja migran ilegal atau unprosedural. "Belum lagi praktik korupsi kecil-kecilan di level paling bawah," ujar dia.

2. Perempuan pekerja migran paling rentan

Ilustrasi pekerja migran (freepik.com/freepik)
Ilustrasi pekerja migran (freepik.com/freepik)

Mayoritas PMI adalah perempuan dengan pendidikan rendah. Mereka dinilai paling rentan mengalami eksploitasi dan diskriminasi sistemik, termasuk hak berpindah kerja. Di Hong Kong, misalnya, pekerja migran tidak bisa berganti pekerjaan, kecuali menikah. Sementara di Makau, pekerja harus kembali ke Indonesia selama 6 bulan sebelum bisa bekerja lagi.

Sringatin juga menyoroti sejumlah pelanggaran terhadap hak dasar PMI di negara penempatan, seperti tidak adanya jaminan hari libur, akses hukum yang terbatas, hak beribadah, hak berkomunikasi, hak atas keselamatan dan keamanan kerja, serta fasilitas shelter yang minim. Di Hong Kong, shelter milik KJRI hanya mampu menampung 6 orang, padahal terdapat 152 ribu PMI di wilayah tersebut.

3. Status pekerja migran belum jelas

Pekerja Migran Indonesia (PMI) antusias membuka rekening PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI) di salah satu mitra agen remitansi BSI di luar negeri. Jelang Idulfitri, transaksi remitansi BSI mencapai Rp1,5 triliun naik 15% dari periode ramadan tahun lalu. (Dok. BSI)
Pekerja Migran Indonesia (PMI) antusias membuka rekening PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI) di salah satu mitra agen remitansi BSI di luar negeri. Jelang Idulfitri, transaksi remitansi BSI mencapai Rp1,5 triliun naik 15% dari periode ramadan tahun lalu. (Dok. BSI)

Selain itu, program reintegrasi bagi purna migran dinilai diskriminatif. “PMI usia 50 tahun ke atas kerap tak bisa mengakses program yang disediakan pemerintah,” katanya.

Di sisi lain, Sringatin juga meminta kejelasan status bagi pekerja migran Indonesia. Sebab selama ini pekerja migran tidak dimasukkan dalam kategori buruh dalam Undang-Undang Buruh Nasional. "Kami bayar BPJS sendiri. Makanya ini perlu diperjelas," kata dia.

Sringatin juga meminta pemerintah lebih aktif melibatkan PMI dalam penyusunan kebijakan. “Kami butuh sistem migrasi yang efektif—murah, aman, dan menjunjung hak asasi manusia,” tegasnya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Sri Gunawan Wibisono
EditorSri Gunawan Wibisono
Follow Us