PMI Rentan Eksploitasi, Negara Dinilai Belum Hadir Sepenuhnya

Nusantara, IDN Times – Diskusi bertajuk "Migrasi yang Efektif untuk Pekerja Migran Indonesia (PMI)" dalam Kongres Diaspora Indonesia ke-8 di Ibu Kota Nusantara (IKN), Jumat (1/8/2025), mengungkap berbagai tantangan yang masih dihadapi para PMI, mulai dari biaya migrasi yang tinggi hingga minimnya perlindungan hukum.
Salah satu pembicara Utama, Sringatin pekerja migran asal Blitar yang telah 22 tahun bekerja di Hong Kong, yang juga merupakan Koordinator Jaringan Buruh Migran Indonesia, mengatakan bahwa meskipun PMI menyumbang remitansi besar bagi Indonesia, keberadaan mereka kerap dipinggirkan dalam kebijakan publik.
“Tapi pengorbanan kami seolah tak dihargai. Kami sering dihakimi, disebut tega meninggalkan anak, padahal ini kami lakukan demi masa depan keluarga,” ujar Sringatin.
1. Biaya tinggi dan proses rumit

Menurut Sringatin, proses migrasi yang dilalui calon PMI terlalu rumit, berisiko dan mahal. Ia menyebut calon PMI bisa membayar potongan Rp28 hingga 40 juta untuk penempatan—setara satu tahun gaji buruh di Jawa. Padahal, sejak 2017, pemerintah selalu berupaya meyakinkan bahwa pengurusan untuk menjadi pekerja migran tidak berbayar.
Selain itu, ada setidaknya 15 syarat administratif, termasuk pelatihan selama 400 jam yang sering berlangsung hingga satu tahun. “Visa bisa butuh waktu 1,5 bulan. Untuk pekerja rumah tangga migran, mereka wajib lewat PJTKI, dan dokumen penting seperti kartu keluarga, ijazah, dan surat nikah bisa ditahan pihak perusahaan,” tambahnya.
Rumitnya regulasi ini, kata Sringatin menjadi celah oknum calo untuk menggaet calon pekerja migran ilegal atau unprosedural. "Belum lagi praktik korupsi kecil-kecilan di level paling bawah," ujar dia.
2. Perempuan pekerja migran paling rentan

Mayoritas PMI adalah perempuan dengan pendidikan rendah. Mereka dinilai paling rentan mengalami eksploitasi dan diskriminasi sistemik, termasuk hak berpindah kerja. Di Hong Kong, misalnya, pekerja migran tidak bisa berganti pekerjaan, kecuali menikah. Sementara di Makau, pekerja harus kembali ke Indonesia selama 6 bulan sebelum bisa bekerja lagi.
Sringatin juga menyoroti sejumlah pelanggaran terhadap hak dasar PMI di negara penempatan, seperti tidak adanya jaminan hari libur, akses hukum yang terbatas, hak beribadah, hak berkomunikasi, hak atas keselamatan dan keamanan kerja, serta fasilitas shelter yang minim. Di Hong Kong, shelter milik KJRI hanya mampu menampung 6 orang, padahal terdapat 152 ribu PMI di wilayah tersebut.
3. Status pekerja migran belum jelas

Selain itu, program reintegrasi bagi purna migran dinilai diskriminatif. “PMI usia 50 tahun ke atas kerap tak bisa mengakses program yang disediakan pemerintah,” katanya.
Di sisi lain, Sringatin juga meminta kejelasan status bagi pekerja migran Indonesia. Sebab selama ini pekerja migran tidak dimasukkan dalam kategori buruh dalam Undang-Undang Buruh Nasional. "Kami bayar BPJS sendiri. Makanya ini perlu diperjelas," kata dia.
Sringatin juga meminta pemerintah lebih aktif melibatkan PMI dalam penyusunan kebijakan. “Kami butuh sistem migrasi yang efektif—murah, aman, dan menjunjung hak asasi manusia,” tegasnya.