TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Pencemaran Sungai Malinau, Jatam Ingatkan akan Dampak Lingkungan

Pencemaran Sungai Malinau sudah sering terjadi

Warga Malinau menunjukkan air sungai berwarna kecokelatan di awal bulan Februari lalu. (Jatam/Merah)

Balikpapan, IDN Times - Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mengingatkan akan timbulnya dampak kerusakan lingkungan di Sungai Malinau Kalimantan Utara (Kaltara). Semua akibat jebolnya tanggul penampung limbah tambang perusahaan batu bara di Malinau. 

“Tanggul perusahaan jebol serta mencemari Sungai Malinau,” kata aktivis Jatam Kaltara Andry Usman dalam jumpa pers daring Jatam, Selasa (23/02/2021). 

Andry menyebutkan, peristiwa jebolnya tanggul penampung limbah terjadi pada awal bulan Februari lalu. Lokasinya  berada di sekitar kawasan 14 desa daerah aliran sungai (DAS) Malinau. 

Limbah batu bara membuat warna air sungai berubah menjadi keruh kecokelatan. Ratusan ikan pun ditemukan mati mengambang menandakan kerusakan keseimbangan ekosistem air sungai.

Baca Juga: Jokowi Minta Para Gubernur Waspada soal Kebakaran Hutan dan Lahan 

1. Limbah batu bara mengancam kualitas tiga DAS di Malinau

Aliran Sungai Malinau Kalimantan Utara setelah terjadi pencemaran limbah batu bara bulan Februari 2021. (Jatam/Merah)

Persoalan paling utama adalah terancamnya pasokan air bersih bagi 8 desa sekitar DAS Malinau. Jatam mendata desa-desa terancam; Sengayan, Langap, Long Loreh, Gongsolok, Batu Kajang, Setarap, Setulang, dan Setaban. 

Selain itu, 6 desa DAS Mentarang dan DAS Sesayap; Lidung keminci, Pulau Sapi, Tanjung Lapang, Kuala Lapang, Malinau Hulu, dan Malinau Kota.

2. Pencemaran Sungai Malinau sering terjadi

Warna menemukan ratusan ikan mati mengambang di Sungai Malinau bulan Februari 2021. (Jatam/Merah)

Jebolnya tanggul penampung limbah tambang, kata Andriy sudah beberapa kali terjadi di Malinau. Pencemaran Sungai Malinau terjadi 2010, 2011, 2012, 2017, dan pada 7 Februari kemarin.

Andry mencontohkan, kejadian serupa di tahun 2017 di mana tanggul penampungan perusahaan tambang lain juga jebol mencemari air Sungai Malinau. Saat itu, PDAM Malinau melakukan penelitian menghasilkan data tingkat kekeruhan air baku mencapai 80 kali dari 25 NTU (nephelometric turbidity unit) menjadi 1.993 NTU.

Artinya, air Sungai Malinau saat itu jauh di bawah ambang batas normal konsumsi manusia. 

Sehingga saat itu, PDAM Malinau pun terpaksa menghentikan pelayanan air bersih selama 3 hari. 

“Kondisi air Sungai Malinau pasca pencemaran saat ini kemungkinan sama dengan saat itu,” papar Andry.

3. Komitmen pemerintah daerah dipertanyakan

Kepala Divisi Hukum Jatam Nasional Muhammad Jamil, Selasa (23/02/2021). (IDN Times/Sri.Wibisono)

Kepala Divisi Hukum Jatam Nasional Muhammad Jamil mempertanyakan komitmen Pemkab Malinau dalam menjaga kelestarian lingkungan wilayah. Sebagai kabupaten pernah mendeklarasikan diri sebagai daerah konservasi, menurutnya, sejumlah kebijakan bertolak belakang. 

“Dulu mendeklarasikan diri sebagai kota konservasi, faktanya berjalannya waktu menerbitkan izin pertambangan batu bara di wilayahnya,” ungkapnya. 

Jatam mencatat terdapat empat perusahaan tambang batu bara besar mengantongi izin konsesi di Malinau. Dua diantara perusahaan ini yang menjadi aktor utama pencemaran Sungai Malinau. 

“Pemprov Kaltara sempat menghentikan aktivitas 4 perusahaan ini. Mereka kemudian menandatangani kesepakatan, siap izin dicabut bila lalai tanggulnya kembali jebol,” papar Jamil. 

Sehubungan itu, Jamil menagih janji 4 perusahaan tambang ini yang dituangkan dalam perjanjian di hadapan Pemprov Kaltara. Menurutnya, sudah tidak alasan lagi bagi perusahaan meneruskan aktivitas tambang di Malinau. 

“Pemprov Kaltara harus mencabut seluruh izin empat perusahaan ini,” tegasnya.

Terlebih lagi, Jamil mengantongi rekam jejak negatif perusahaan tambang yang kini melakukan pencemaran Sungai Malinau. Ia menyebutkan, perusahaan tersebut melakukan kerusakan lingkungan luar biasa saat melakukan pertambangan di Desa Mulawarman Kutai Kartanegara (Kukar) Kalimantan Timur (Kaltim).

Kawasan ini sekarang menjadi desa mati tanpa ada aktivitas sama sekali. 

“Sudah tidak ada kehidupan sama sekali, keberadaan desa dihapus dari peta. Ini bukti kejahatannya,” ungkap Jamil. 

4. Korporasi tambang sudah kuasai ekonomi di daerah

Koalisi Bersihkan Indonesia Ahmad Ashov, Selasa (23/02/2021). (IDN Times/Sri.Wibisono)

Masih kaitan pertambangan, Koalisi Bersihkan Indonesia menilai korporasi perusahaan tambang sudah menguasai seluruh sendi perekonomian negeri. Seperti contohnya terjadi di Kaltim dan Sulawesi Selatan (Sulses) di mana penerbitan izin pertambangan lebih luas dibandingkan area wilayah.  

“Faktanya korporasi sudah menguasai daratan, seperti di Kaltim dan Sulsel," tutur perwakilan Koalisi Bersihkan Indonesia Ahmad Ashov. 

Dampaknya sangat luar biasa bagi kehidupan sosial, ekonomi, lingkungan masyarakat setempat. Terjadi sentralisasi penguasaan sumber daya alam (SDA) dan membuat lonjakan angka kemiskinan. 

“Terjadi anomali saat daerah memiliki sumber alam ternyata masyarakatnya mayoritas miskin,” ujarnya. 

Selain itu, masyarakat pun dipaksa beradaptasi dengan perubahan situasi ekonomi, sosial, dan lingkungan ini. Mereka juga menjadi korban paling rentan terdampak proses eksploitasi berlebihan SDA.  

Baca Juga: April 2021, Ditlantas Polda Kaltim akan Terapkan Tilang Elektronik 

Berita Terkini Lainnya