TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

YLBHI, Kasus Extra Judicial Killing Tertinggi Terjadi di Kepolisian

Ditemukan ditemukan 241 kasus EJK dengan 305 korban jiwa

Era Purnamasari (YLBHI) di konferensi pers praperadilan Ravio Patra (Tangkap Layar Zoom Presscon Koalisi Tolak Kriminalisasi dan Rekayasa Kasus)

Balikpapan, IDN Times – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) melaporkan hasil penelitian tentang extra judicial killing (EJK) atau pembunuhan sewenang-wenang di luar proses hukum. Sepanjang tahun 2018-2020 ditemukan 241 kasus EJK dengan korban mencapai 305 jiwa.

“Kasus-kasus EJK masih banyak terjadi di Indonesia,” kata Wakil Ketua Bidang Advokasi YLBHI Era Purnamasari dalam diskusi Potret EJK di Indonesia, Minggu (21/02/2021).

Penelitian YLBHI menemukan fakta rincian kasus EJK terjadi tahun 2018 sebanyak 151 kasus dengan 192 korban jiwa dan 2019 sebanyak 21 kasus dengan 77 korban jiwa.

Sedangkan tahun 2020 terjadi 44 kasus EJK dengan 46 korban jiwa.

Baca Juga: PPKM Mikro, RT di Balikpapan ini Wajibkan Pendatang Bawa Hasil Antigen

1. Kasus EJK mayoritas melibatkan kepolisian

Era mengatakan, kasus-kasus EJK ini sebanyak 80 persen di antaranya melibatkan institusi kepolisian. Kekerasan dilakukan polisi kaitan pembubaran aksi demo massa, kejahatan jalanan, narkoba, pencurian, hingga penindakan lahan tanpa izin.

Apalagi setelah munculnya narasi kekerasan diucapkan Presiden Joko Widodo  jelang pesta olahraga ASEAN Games di Indonesia. Narasi kekerasan ini pun dipertegas pernyataan Polri akan menindak tegas praktik kejahatan mengancam keamanan dan ketertiban.  

Permasalahannya, Era berpendapat, institusi Polri tidak mempunyai jaring terukur dalam penindakan pelaku kejahatan di lapangan. YLBHI menemukan fakta kasus kekerasan melibatkan oknum polisi tidak dikenakan proses hukum yang jelas.

Sebanyak 80 persen kasus kekerasan polisi hilang dari permukaan.

“Sembilan persen masuk proses pengadilan, 10 persen sudah ditetapkan tersangka tapi prosesnya tidak jelas,” ungkapnya.

Polisi hanya menindak oknum anggota saat ada tekanan publik maupun perlawanan masyarakat. Beberapa kasus, pimpinan Polri baru bertindak saat terjadi perlawanan masyarakat berlaku anarkis melawan oknum di lapangan.

Seperti kasus janggal, meninggalnya kakak dan adik tersangka pencurian kotak amal masjid di sel tahanan Polsek Sijunjung Sumatra Barat. Polisi sempat melaporkan keduanya ditemukan tewas gantung diri di sel tahanan.  

Demikian pun, aksi anarkis warga yang membakar Polsek Bendahara Aceh menyusul tewasnya tersangka narkoba. Warga menolak percaya alasan polisi yang menyebut tersangka melawan saat dalam pemeriksaan.

“Ada indikasi oknum berusaha mengaburkan alat bukti di lapangan, keluarga juga tidak diperkenankan melihat jenazah korban, memberikan uang tali asih sebagai tanda perdamaian,” ungkapnya.

2. Profesionalisme Polri dipertanyakan

Polisi memasang garis polisi di jalanan ke Bukit Lawang amblas (IDN Times/Bambang Suhandoko)

Sehubungan itu, Era mempertanyakan niat baik Polri membangun profesionalisme personil. Menurutnya, Polri harus memosisikan diri sebagai alat penegak hukum di Indonesia.

Selama ini, Polri memiliki kecenderungan hanya sebagai kepanjangan alat kekuasaan.

“Masih banyak lagi kasus di luar hasil penelitian YLBHI yang masih misteri,” ujarnya.

YLBHI menyimpulkan, pembunuhan bermotif EJK terus terjadi dan cenderung meluas.

Era menyatakan, Polri semestinya profesional dalam melaksanakan perintah Undang-Undang sesuai prosedur hukum berlaku. Kepala Polri harus bertindak tegas memproses hukum personil diduga melanggar hukum saat melaksanakan proses penyidikan maupun penyidikan.

“Rekomendasi perbaikan internal, penguatan lembaga external, ratifikasi optional protocol, revisi KUHP, tuntaskan kasus-kasus lama, membuka kasus EJK, dan penguatan Lembaga pengontrol,” paparnya.

3. Komnas HAM akui pelanggaran HAM masih marak di Indonesia

Ketua Komnas HAM Taufan Damanik dalam diskusi bersama YLBHI, Minggu (21/02/2021). (IDN Times/Sri.Wibisono)

Sementara itu, Komnas HAM mengakui kasus-kasus EJK masih marak terjadi di Indonesia. Dalam beberapa hal, Komnas HAM menyorot kasus-kasus besar bisa memberikan efek fundamental terhadap perubahan kultur terjadi kekerasan di negeri.

Seperti kasus penembakan 6 orang laskar FPI di tol Cikampek serta pembunuhan Pendeta Yeremia Zanambani di Intan Jaya Papua.

“Kami hanya mengambil kasus-kasus fundamental saja,” ungkap Ketua Komnas HAM Taufan Damanik.

Taufan mengatakan, dua kasus ini masih dalam proses investigasi Komnas HAM bersama institusi Polri dan TNI. Ia belum membuka banyak terkait hasil investigasi dilakukan timnya.

“Bukan perkara mudah membuka kasus diduga melibatkan personil TNI dan Polri di dalamnya,” paparnya.

Sampai di sini, Taufan bahkan beranggapan Komnas HAM seperti macan ompong kaitan penegakan komitmen HAM di negeri ini. Mereka memiliki kendala keterbatasan sumber daya manusia, dana, hingga kewenangan dalam pengumpulan alat bukti. 

Meskipun begitu, Taufan menilai ada angin segar komitmen pemerintah dalam penegakan kasus HAM terjadi di Indonesia. Semua bisa terjadi saat pimpinan Komnas HAM  menemui Presiden Joko Widodo serta meminta dukungan penanganan kasus pelanggaran HAM berat negeri ini. 

“Saya sampaikan, proses hukum harus bisa tegak di kasus ini,” ungkapnya.

Setelah itu, institusi TNI/Polri menjadi sedikit terbuka membantu investigasi kasus Pendeta Yeremia dan laskar FPI. Panglima TNI bahkan memberikan kesempatan Komnas HAM berbicara di hadapan  rapat pimpinan tinggi TNI tentang komitmen HAM di masa mendatang.

“Perjuangan kita memang masih jauh, namun setidaknya progres sudah mulai kelihatan,” ujar Taufan.

Demikian pun terjadi di Polri di mana ada kesepakatan pemahaman dengan Komnas HAM. Keduanya akan menandatangani kesepakatan revisi SOP standar berada di institusi ini. 

Baca Juga: Gubernur Isran Minta Warga Kaltim Beri Kritikan, tapi Bersyarat!

Berita Terkini Lainnya