Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Empat Nelayan Kerang Darah Muara Badak Dipanggil Polisi, Ada Apa?

WhatsApp Image 2025-06-05 at 20.00.14.jpeg
Koalisi Peduli Nelayan Kerang Darah Muara Badak melaporkan dugaan pencemaran yang dilakukan oleh PT PHSS ke Polda Kaltim. Belakangan, empat nelayan justru dilaporkan ke Polres Bontang oleh PT PHSS. (IDN Times/Erik Alfian)
Intinya sih...
  • Kronologi demo dan penangkapan
  • Dugaan kriminalisasi
  • Nelayan sempat terima bantuan sosial

Balikpapan, IDN Times – Empat orang nelayan kerang darah di Kecamatan Muara Badak, Kutai Kartanegara, menerima surat panggilan dari Polres Bontang. Mereka dimintai keterangan sebagai saksi dalam kasus dugaan tindak pidana penghasutan atau memasuki pekarangan tanpa izin pada aksi demo di PT Pertamina Hulu Sanga Sanga (PHSS) pada 9-10 Januari dan 5 Februari 2025 lalu.

Pemanggilan ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan nelayan akan adanya upaya kriminalisasi terhadap mereka. Berdasarkan salinan surat pemanggilan yang didapatkan IDN Times, empat nelayan itu adalah Muhammad Yusuf, Muhammad Yamin, Muhammad Said, dan Haji Tarre. Mereka dipanggil sebagai saksi di Polres Bontang pada 25 Juni 2025 nanti.

Salah satu nelayan yang dipanggil sebagai saksi, Muhammad Yusuf, menjelaskan tiga nelayan yang dipanggil merupakan bagian dari 10 nelayan yang sempat ditangkap dan ditahan oleh Polres Bontang pasca-demo 12 Februari 2025 lalu. Sementara satu nama, Haji Tarre, baru muncul dalam daftar pemanggilan kali ini.

"Kami kan pikirnya sudah selesai semua ini setelah dibebaskan kemarin, saya pikir sudah tidak ada lagi, kok muncul lagi panggilannya," ujar Muhammad Yusuf dengan nada heran.

1. Kronologi demo dan penangkapan

WhatsApp Image 2025-06-05 at 20.00.23.jpeg
Dari kiri, pendamping hukum nelayan, Muhammad Taufik dan perwakilan nelayan Muhammad Yusuf. (IDN Times/Erik Alfian)

Muhammad Yusuf menceritakan kronologi aksi demo 12 Februari yang berujung pada penangkapan nelayan. Pada tanggal 12 Februari, tujuh orang nelayan ditangkap saat demo berlangsung di PHSS. Tiga orang lainnya ditangkap di hari lain.

"Itu bahkan sudah kayak teroris lah. Dijegat di jalan gitu-gitu. Di-sweeping, digeledah rumah," ungkap Muhammad Yusuf.

Ia menegaskan bahwa setiap aksi yang dilakukan oleh nelayan, termasuk penutupan akses menuju PHSS, selalu didasari oleh kesadaran bersama dan telah melalui prosedur yang benar.

"Semua prosedur untuk menjalankan aksi itu sudah dijalankan," kata Muhammad Yusuf.

Ia mencontohkan aksi demo pada 9 Januari di rig yang sudah diberitahukan kepada Kapolsek Muara Badak, meskipun dalam bentuk surat tulisan tangan karena desakan masyarakat yang sudah tidak terbendung.

Begitu pula dengan aksi 12 Februari, di mana sebelumnya sudah ada diskusi dengan Kapolsek dan kesepakatan untuk menunggu pimpinan Pertamina menemui mereka. Namun, karena tidak ada niat baik dari pihak PHSS, nelayan memutuskan untuk menutup akses.

2. Dugaan kriminalisasi

WhatsApp Image 2025-06-05 at 20.00.26.jpeg
Koalisi Peduli Nelayan Kerang Darah Muara Badak melaporkan dugaan pencemaran yang dilakukan oleh PT PHSS ke Polda Kaltim. (IDN Times/Erik Alfian)

Pemanggilan kembali nelayan ini terjadi di tengah sorotan publik dan pemerintah terhadap dugaan pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh PT PHSS.

"Padahal kan persoalan ini sudah mulai terang-benderang kan, sejak pernyataan Menteri Lingkungan Hidup yang mengatakan akan memberikan sanksi kepada PT PHSS. Kemudian kami dipanggil lagi, apa maksudnya? Apa mau mematikan gerakan ini?," kata dia.

Ia menambahkan bahwa teman-teman nelayan merasa pemanggilan ini sebagai upaya untuk mentersangkakan mereka.

"Kalau dari sisi kami nelayan ini, kayaknya mereka akan mencoba-coba untuk mentersangkakan gitu, dari kami nelayan," ucapnya.

Pendamping hukum nelayan dari Pusat Advokasi Kalimantan Timur (Pusaka), Muhammad Taufik menilai, pemanggilan ini dianggap sebagai upaya kriminalisasi terhadap para nelayan yang sejak akhir tahun lalu berjuang.

"Kalau dari kami melihat ini seperti upaya kriminalisasi dari korporasi terhadap nelayan. Kami akan terus mendampingi nelayan selama proses hukum berjalan," katanya.

3. Nelayan sempat terima bantuan sosial

WhatsApp Image 2025-06-05 at 20.09.29.jpeg
Kerang darah milik nelayan Muara Badak yang mati diduga karena tercemar limbah. (Dok. Nelayan Muara Badak)

Sebelumnya, telah ada pertemuan antara nelayan dan PT PHSS di Samarinda, terkait bantuan sosial pada Maret 2025 lalu. Pertemuan ini menghasilkan kesepakatan pemberian bantuan sebesar Rp600 juta untuk sekitar 299 nelayan terdampak, atau sekitar Rp2 juta per orang. Bantuan ini awalnya dalam bentuk barang, namun dialihkan menjadi uang tunai atas permintaan nelayan.

Muhammad Yusuf menegaskan bahwa bantuan ini adalah bentuk kepedulian dari PT PHSS dan bukan sebagai ganti rugi atas dugaan pencemaran.

"Kami sepakati kalau memang itu bentuk bantuan sosial, bukan ganti rugi, di luar daripada skema ganti rugi. Kalau skema ganti rugi adalah ketika terbukti, dia siap ganti rugi," jelasnya. Bantuan tersebut diberikan sekitar bulan Maret, sebelum nelayan melaporkan dugaan pencemaran ke Polda Kaltim, 6 Juni 2025 kemarin.

4. Nelayan laporkan dugaan pencemaran PT PHSS ke Polda Kaltim

WhatsApp Image 2025-06-05 at 20.00.15.jpeg
Koalisi Peduli Nelayan Kerang Darah Muara Badak melaporkan dugaan pencemaran yang dilakukan oleh PT PHSS ke Polda Kaltim. (IDN Times/Erik Alfian)

Koalisi Peduli Nelayan Kerang Darah Muara Badak yang terdiri dari perwakilan nelayan budidaya kerang darah, resmi melaporkan dugaan pencemaran lingkungan yang diduga dilakukan oleh PT Pertamina Hulu Sanga Sanga (PHSS). Laporan dilayangkan ke Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Kalimantan Timur, Kamis (5/6/2025).

Muhammad Yusuf, perwakilan nelayan yang juga tergabung dalam koalisi tersebut, menyatakan bahwa pencemaran ini telah menyebabkan kematian massal kerang darah yang dibudidayakan oleh para nelayan pada akhir 2024 lalu. Yusuf berharap Polda Kaltim dapat menangani kasus ini secara objektif dan berpihak kepada masyarakat.

"Kami berharap Polda Kaltim dapat objektif dalam menangani persoalan ini dan bisa berpihak kepada masyarakat serta menegakkan hukum seadil-adilnya, karena korban saat ini menunggu kepastian dan kejelasan," ujar Yusuf, Kamis (5/6/2025).

Menurut Yusuf, terdapat sekitar 299 kepala keluarga nelayan yang terdampak, tersebar di enam desa di Kecamatan Muara Badak. Wilayah terdampak membentang dari pesisir Tanjung Limau hingga pesisir Saliki. Yusuf memperkirakan luas total lahan budidaya kerang darah yang terdampak bisa mencapai 1.000 hektare.

Ia juga menjelaskan bahwa kerugian yang dialami para nelayan akibat gagal panen diperkirakan mencapai sekitar Rp68,4 miliar. Perhitungan tersebut didasarkan pada estimasi panen sebesar 3.800 ton kerang darah dengan harga jual Rp18.000 per kilogram yang seharusnya dilakukan pada Desember 2024 lalu.

Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, menyatakan bahwa investigasi terhadap dugaan pencemaran lingkungan oleh PT Pertamina Hulu Sanga-Sanga (PHSS) telah rampung. Hasilnya, perusahaan migas milik negara tersebut dinyatakan melakukan pelanggaran.

“Ya, sudah ada hasil dari tim PPKL (Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan),” ujar Hanif, Kamis (5/6/2025).

Ia menambahkan bahwa meskipun laporan akhir dari tim penegakan hukum (Gakkum) belum sepenuhnya selesai, informasi yang ia terima sudah cukup untuk memastikan bahwa PHSS menjadi salah satu sumber pencemaran di wilayah pesisir Muara Badak, Kalimantan Timur.

“Sanksi akan segera diberikan oleh Gakkum,” tegas Hanif, yang sebelumnya menjabat sebagai Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan.

5. Respons PHSS terkait laporan nelayan

ilustrasi cangkang kerang darah (pixabay.com/ObeyGravity)
ilustrasi cangkang kerang darah (pixabay.com/ObeyGravity)

Manager Comrel & CID PT Pertamina Hulu Indonesia, Dony Indrawan menyatakan perusahaan kembali menyampaikan keprihatinan atas kejadian gagal panen kerang darah yang terjadi pada musim hujan kali ini dan memahami kesulitan yang ditimbulkan oleh kejadian tersebut terhadap masyarakat yang terdampak di Kecamatan Muara Badak, khususnya di Desa Tanjung Limau.

Oleh karena itu, sebagai anggota masyarakat yang baik, perusahaan bersama pemerintah daerah Kutai Kartanegara, khususnya Dinas Sosial, telah memberikan bantuan kepada petani kerang darah yang terdampak pada Maret lalu.

Hingga saat ini, perusahaan belum menerima keputusan Kementerian Lingkungan Hidup terkait hasil investigasi yang dilakukan oleh Tim Penegakan Hukum pada Mei lalu sehingga belum bisa memberikan tanggapan mengenai hal tersebut.

Perusahaan meyakini telah menjalankan operasi hulu migas sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang berlaku.

Lebih lanjut, Dony mengatakan, perusahaan senantiasa bekerja sama dengan pemerintah dalam proses ini dan akan menghormati keputusan KLH sebagai wujud komitmen untuk terus meningkatkan kinerja pengelolaan lingkungan di lingkungan perusahaan.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Linggauni
EditorLinggauni
Follow Us