Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

FWI Sebut Indonesia Gagal Hentikan Deforestasi dan Capai Target FoLU

ID0617-MAHULU-DJI1206-NS-017.jpg
Tutupan hutan di Kabupaten Mahakam Ulu, Kalimantan Timur. (Dok. Forest Watch Indonesia)
Intinya sih...
  • Deforestasi terus meningkat
  • Sawit dan konsesi hutan jadi biang deforestasi
  • Deforestasi tidak hanya soal penurunan emisi

Balikpapan, IDN Times – Upaya Indonesia dalam menurunkan laju deforestasi demi mencapai target pengurangan emisi tahun 2030 dinilai gagal arah dan kontradiktif. Dalam dokumen resmi FoLU Net Sink 2030, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menetapkan bahwa 60 persen target penurunan emisi nasional berasal dari sektor kehutanan dan lahan. Namun, temuan Forest Watch Indonesia (FWI) menunjukkan bahwa deforestasi justru terus terjadi secara masif dan terencana.

Menurut Juru Kampanye FWI, Anggi Putra Prayoga, dalam siaran persnya mengatakan strategi FoLU Net Sink 2030 tidak dijalankan secara serius di tingkat tapak. Ia menegaskan bahwa komitmen pemerintah untuk menurunkan deforestasi tidak tercapai. FWI mencatat total deforestasi selama dua tahun setelah dokumen FoLU disahkan—antara tahun 2021 hingga 2023—mencapai 1,93 juta hektare. Jumlah ini melampaui kuota pengurangan deforestasi yang ditetapkan KLHK.

1. Sawit dan konsesi hutan jadi biang deforestasi

ID0617-MAHULU-DJI1206-NS-067.jpg
Tutupan hutan di Kabupaten Mahakam Ulu, Kalimantan Timur. (Dok. Forest Watch Indonesia)

Anggi menambahkan, deforestasi tersebut berlangsung dalam wilayah konsesi kehutanan melalui skema PBPH (Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan), termasuk di hutan alam (HA), hutan tanaman (HT), dan wilayah restorasi ekosistem (RE). Tidak hanya itu, deforestasi juga terjadi pada areal perkebunan sawit yang dilegalkan melalui pelepasan kawasan hutan, serta dalam perizinan Perhutanan Sosial.

“Deforestasi 375.368 hektare dalam PBPH pada periode 2021 hingga 2023 seharusnya bisa dicegah jika Kemenhut tidak menyetujui rencana usaha perusahaan. Begitu juga dengan deforestasi akibat pelepasan kawasan hutan. Hutan dirusak, sawit dibangun,” tegas Anggi, Jumat (20/6/2025).

FWI mencatat bahwa 1,66 juta hektare dari deforestasi dalam dua tahun terakhir terjadi di wilayah yang diklaim KLHK sebagai kawasan hutan negara. Dengan target net sink 2030 sebesar minus 577 ribu hektare deforestasi, tren ini membuat pencapaiannya nyaris mustahil.

2. Deforestasi meningkat di pulau-pulau kecil

DJI_0064.JPG
Hutan di kawasan pesisir Kalimantan Timur. (Dok. Forest Watch Indonesia)

Situasi semakin mengkhawatirkan ketika deforestasi juga meningkat di pulau-pulau kecil. Rata-rata deforestasi nasional yang terjadi di pulau kecil mencapai 3 persen, atau sekitar 318,6 ribu hektare pada periode 2017–2021. Saat ini, dari total 3,49 juta hektare sisa hutan alam di pulau kecil (2021), semuanya terancam rusak akibat tata kelola yang dinilai salah arah.

Anggi menyoroti tiga kesalahan mendasar dalam kebijakan pengelolaan pulau kecil. Pertama, pendekatan yang menyamakan kondisi pulau kecil dengan pulau besar. Kedua, menggeneralisasi karakteristik antar pulau kecil. Ketiga, kebijakan yang tidak berbasis sains dan bias terhadap daratan dan wilayah besar.

Celakanya, KLHK justru mengeluarkan kebijakan yang membuka peluang eksploitasi. Permen LHK No. 7/2021 tentang Perencanaan Kehutanan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan mengizinkan kegiatan pertambangan di pulau kecil tanpa batasan luas. Ini bertentangan langsung dengan UU No. 27/2007 jo. UU No. 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K), serta Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-XXI/2023 yang secara tegas membatasi pemanfaatan ruang di pulau kecil.

Menjelang revisi UU Kehutanan yang masuk dalam Prolegnas 2025, para akademisi lingkungan mengingatkan agar proses legislasi tidak menjadi sarana untuk melegalkan pasal-pasal kontroversial dari Permen LHK 07/2021 yang merupakan turunan UU Cipta Kerja. Mereka menilai narasi pembangunan seperti swasembada pangan, tambang di pulau kecil, dan transisi energi hanya akan memperparah kerusakan hutan jika tidak disertai dengan perubahan paradigma hukum kehutanan.

3. 242 pulau kecil telah dikaveling untuk pertambangan

DJI_0073.JPG
Hutan di kawasan pesisir Kalimantan Timur. (Dok. Forest Watch Indonesia)

Prof. Agustinus Kastanya dari Universitas Pattimura menyebut UU Kehutanan saat ini masih mengandung warisan kolonial berupa domein verklaring—yang mengklaim hutan sebagai milik negara. KLHK bahkan telah menetapkan 106 juta hektare dari 125 juta hektare sebagai kawasan hutan, mencakup sekitar 66 persen ruang hidup masyarakat. “Bahkan 62 persen pulau kecil di Indonesia masuk dalam kawasan hutan. Namun tata kelola kawasan ini destruktif karena hanya dimaknai sebagai komoditas,” ujar Agustinus.

Dr. Andi Chairil Ichsan dari Universitas Mataram menilai perlu dilakukan redefinisi menyeluruh terhadap istilah seperti hutan, kawasan hutan, deforestasi, cadangan pangan, dan energi. Ia menyebut sejumlah regulasi turunan UU Cipta Kerja seperti PP No. 23/2020 dan Permen LHK No. 07/2021 memperlakukan kawasan hutan layaknya komoditas demi kepentingan proyek pangan, tambang, energi, dan monokultur. Bahkan, definisi deforestasi sengaja dibuat kabur agar tidak terlihat sebagai kerusakan di lapangan.

Sementara itu, Prof. La Ode M. Aslan dari Universitas Halu Oleo sekaligus perwakilan Forum Akademisi Timur Melawan Tambang Di Pulau Kecil, mengungkap bahwa sebanyak 242 pulau kecil telah dikaveling untuk pertambangan seluas 245 ribu hektare—setara tiga kali luas Singapura. Tambang di pulau kecil tidak hanya merusak daratan, tetapi juga mencemari sungai, pesisir, dan laut. Di Sulawesi Tenggara, masyarakat pesisir di Pulau Kabaena disebut mengalami dampak serius dari pencemaran logam berat akibat tambang.

4. Bukan soal penurunan emisi

ID0617-MAHULU-DJI1106-NS-057.jpg
Tutupan hutan di Kabupaten Mahakam Ulu, Kalimantan Timur. (Dok. Forest Watch Indonesia)

Menurut FWI dan para akademisi, deforestasi tidak bisa dimaknai sekadar sebagai persoalan emisi. Di balik perusakan hutan yang berlangsung secara terencana, terdapat fungsi-fungsi penting yang hilang: mulai dari ruang hidup masyarakat adat, konservasi air dan tanah, pengatur iklim mikro, hingga ketahanan pangan.

Untuk itu, Anggi menilai upaya menurunkan laju deforestasi seharusnya bukan sekadar strategi mencapai target angka emisi. Tetapi harus menjadi bentuk nyata dari komitmen melindungi fungsi ekosistem hutan, serta disertai perubahan kebijakan yang tegas melalui revisi UU Kehutanan yang berpihak pada keadilan ekologis dan perlindungan masyarakat adat.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Linggauni
EditorLinggauni
Follow Us