Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Mukadi, Perantau Blitar yang Jadi Pelopor Kerupuk Koin di Balikpapan

Mukadi (60), merupakan pelopor kerupuk koin yang kini dikenal luas di Balikpapan.
Mukadi (60), merupakan pelopor kerupuk koin yang kini dikenal luas di Balikpapan. (IDN Times/Erik Alfian)

Balikpapan, IDN Times – Nama kerupuk koin mungkin sudah akrab di telinga warga Balikpapan. Gurih, renyah, dan mudah dijumpai di warung-warung makan hingga gerobak nasi kuning. Namun, tak banyak yang tahu, camilan sederhana itu lahir dari tangan seorang perantau asal Blitar, Jawa Timur, bernama Mukadi (60).

Perjalanannya membangun usaha kerupuk koin dimulai sejak 1995 silam. Dengan modal nekat dan pengalaman bekerja pada orang lain, ia berani membuka industri rumahan sendiri. “Dulu, saya yang bikin, saya yang goreng, saya juga yang jual ke pasar,” kenang Mukadi saat ditemui IDN Times di rumah produksinya, Jalan Telagasari 3, RT 40, Nomor 11, Balikpapan Kota.

1. Inspirasi menciptakan kerupuk koin

WhatsApp Image 2025-09-16 at 12.40.14.jpeg
Kerupuk koin Cap Durian yang diproduksi di rumah Mukadi, Jalan Telagasari 3, Kelurahan Telaga Sari, Balikpapan Kota. (IDN Times/Erik Alfian)

Mukadi mengaku sudah merantau ke Balikpapan sejak 1983. Awalnya ia bekerja serabutan di proyek kayu, hingga kemudian pada 1987 ikut seorang pengusaha kerupuk. Dua tahun bekerja, ia merasa cukup belajar dan memberanikan diri membuka usaha sendiri di kawasan Prapatan.

Mukadi bercerita, ide membuat kerupuk berbentuk koin lahir dari pengalamannya mengamati bentuk kerupuk kotak yang dulu umum dibuat orang. Menurutnya, bentuk kotak lebih sulit dan memakan waktu. Ia kemudian memikirkan cara lebih praktis dan efisien: adonan dimasukkan ke plastik, direbus, lalu dipotong menyerupai koin.

“Bentuk koin lebih gampang dan hasilnya juga lebih seragam. Dari situlah orang mulai mengenal kerupuk koin,” kata Mukadi.

Mukadi awalnya menjajakan kerupuk koin buatannya dengan sepeda ontel ke Kawasan Pandansari dan Kampung Baru. Di tahun-tahun awal, penghasilannya dari menjual kerupuk mencapai Rp5.000–Rp6.000 per hari. Pada masanya jumlah itu lebih tinggi ketimbang upah menjadi tukang atau buruh.

“Kalau dulu, orang mungkin gengsi jualan kerupuk. Tapi saya jalanin saja, sedikit-sedikit produksinya ditambah,” ujarnya.

Meski sudah cukup dikenal, produk kerupuk koin yang diberi label "Cap Durian" ini tetap dipasarkan dengan cara konvensional, tanpa menggunakan media sosial. Biasanya warga atau pemilik usaha langsung datang ke rumahnya untuk membeli. Selain itu, ada karyawan yang biasanya mengantarkan ke pelanggan.

2. Menghadapi persaingan

WhatsApp Image 2025-09-16 at 12.44.50.jpeg
Proses pengemasan kerupuk koin di rumah produksi Jalan Telagasari 3. (IDN Times/Erik Alfian)

Pada masa jayanya, Mukadi bahkan mampu memproduksi hingga 2 kuintal per hari, dengan dibantu 12–13 karyawan. “Ada yang bikin adonan, ada yang motong, ada yang goreng, ada yang bungkus. Semua bagi tugas,” katanya.

Produksinya kala itu tak hanya menyuplai Balikpapan, tapi juga merambah Penajam dan beberapa kota sekitar. Bahkan, menurutnya, hanya ada tiga pelaku usaha kerupuk koin di Balikpapan, sehingga pasarnya relatif aman. "Sekarang saya hanya menyuplai untuk Balikpapan saja," ucap dia.

Seiring waktu, jumlah pesaing semakin banyak. Permintaan pun menurun. Kini, Mukadi hanya mampu memproduksi sekitar 80 kilogram kerupuk koin per hari. Meski begitu, ia tetap mempertahankan kualitas. “Biarpun harga bahan naik, komposisi bumbu nggak pernah saya kurangi. Kualitas nomor satu,” tegasnya.

3. Bertahan di tengah persaingan

WhatsApp Image 2025-09-16 at 12.40.12.jpeg
Proses penggorengan kerupuk koin di rumah produksi Jalan Telagasari 3, Balikpapan. (IDN Times/Erik Alfian)

Tiga dekade bertahan bukan perkara mudah. Harga bahan baku yang terus naik, persaingan yang semakin ketat, hingga minimnya dukungan modal dari pemerintah menjadi tantangan. Meski begitu, Mukadi enggan menyerah.

Ia memilih adaptif, berhitung matang soal ongkos produksi, sambil memastikan pelanggan tetap bisa menikmati kerupuk koin dengan harga terjangkau. “Kalau minyak naik, ya kita berhitung dulu. Nggak bisa asal produksi. Tapi alhamdulillah, sampai sekarang masih bisa bertahan,” katanya.

Akan diteruskan generasi berikutnya?

Meski usahanya sudah berjalan hampir 30 tahun, Mukadi mengaku belum tahu apakah anaknya kelak akan meneruskan tradisi kerupuk koin. “Kalau mau ya silakan, tapi belum ada tanda-tanda,” ucapnya, tersenyum tipis.

Apa pun nanti nasib usahanya, Mukadi tetap bangga menjadi bagian dari identitas kuliner Balikpapan. “Kerupuk koin ini sudah jadi ciri khas kota. Hampir semua warung makan ada. Bagi saya, itu sudah kebanggaan tersendiri,” ujarnya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Sri Gunawan Wibisono
EditorSri Gunawan Wibisono
Follow Us

Latest News Kalimantan Timur

See More

Polisi Ringkus Enam Pelaku Pengeroyokan di Kukar

16 Sep 2025, 17:09 WIBNews