Populasi Tersisa 60 Ekor, Pesut Mahakam di Ambang Kepunahan!

Balikpapan, IDN Times – Populasi Pesut Mahakam saat ini berada di titik kritis. Mamalia air tawar endemik Kalimantan Timur itu semakin sulit dijumpai dan jumlahnya kian menyusut hingga hanya tersisa puluhan ekor saja. Kondisi ini membuat peneliti dan aktivis konservasi menyambut baik langkah Menteri Lingkungan Hidup (LH) Hanif Faisol yang mulai memberi perhatian khusus terhadap spesies tersebut.
Data terbaru mengungkapkan bahwa 67 persen kematian pesut disebabkan jerat jaring insang. Sementara sisanya akibat pencemaran limbah industri dan tabrakan dengan kapal tongkang di Sungai Mahakam. Situasi darurat inilah yang mendorong Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menyiapkan langkah regulasi untuk menekan angka kematian dan mencegah kepunahan satwa ikonik Kalimantan itu.
1. Tiga langkah regulasi dari KLH

Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati KLH, Inge Retnowati, menegaskan pemerintah akan mengambil tiga langkah utama. Pertama, memastikan asas keanekaragaman hayati diterapkan dalam kebijakan. Kedua, mengintegrasikan prinsip pembangunan berkelanjutan ke dalam RTRW dan RPJP. Ketiga, memperkuat konservasi serta pencadangan sumber daya alam.
“Minimnya populasi pesut dan tingginya angka kematian akibat aktivitas manusia membuat kami segera berkoordinasi. Semua pihak harus menerapkan instrumen hukum yang ada demi mencegah kepunahan ikon biodiversitas Kalimantan ini,” ujarnya.
Pesut Mahakam kini berstatus critically endangered dalam daftar merah IUCN serta masuk Apendiks I CITES, kategori tertinggi untuk spesies terancam punah. KLH berharap strategi terpadu ini bisa menekan laju kematian dan memberi harapan baru bagi kelangsungan hidup pesut.
2. Perlu sinergi lintas kementerian

Koordinator Program Ilmiah Yayasan Rare Aquatic Species of Indonesia (RASI), Danielle Kreb, menyambut langkah KLH sebagai “angin segar” yang ditunggu sejak lama. Menurutnya, upaya konservasi tak bisa hanya ditangani satu kementerian.
“Kami sudah mengajukan pembahasan ke Satprov pada Juni lalu tentang masalah lalu lintas sungai dan pencemaran. Tapi ini tidak bisa diselesaikan satu kementerian saja,” kata Danielle.
RASI menilai penetapan pesut sebagai spesies prioritas sudah tepat. Namun, tata kelola lalu lintas sungai, pencemaran, hingga alih fungsi lahan di sempadan Mahakam menuntut keterlibatan Kementerian Perhubungan, Kementerian Pertanian, serta instansi lain. “Konservasi bukan tanggung jawab satu pihak, tapi kerja bersama lintas kementerian. Kalau mau bikin rencana aksi cepat, kontribusi multi-stakeholders itu wajib,” tegasnya.
3. Ancaman ganda: jaring insang hingga limbah industri

Selain jerat nelayan, pesut juga terancam aktivitas hauling batu bara dan parkir tongkang di habitat alaminya. Kapal-kapal besar yang bersandar mempersempit ruang gerak dan daerah mencari makan pesut.
“Pada Juli, saat aktivitas pengangkutan batu bara menurun, kualitas air langsung membaik. Tapi di April, pencemaran logam berat seperti tembaga dan kadmium meningkat drastis,” jelas Danielle.
Untuk menekan ancaman jaring insang, RASI bersama KKP memperkenalkan acoustic device di perairan. “Pesut akan menjauh sekitar 10 meter dari jaring saat mendengar alat itu. Sudah terpasang 270 alat, digunakan oleh 159 nelayan, dan sejauh ini tidak ada pesut yang mati di jaring,” tambahnya.
Meski begitu, ancaman lain masih mengintai: penggunaan racun di sungai, pestisida dari perkebunan sawit, serta kebisingan kapal. RASI juga melakukan penyuluhan ke masyarakat, melatih nelayan melepas pesut yang terjerat, hingga edukasi di sekolah.
“Pesut Mahakam sudah berevolusi menjadi spesies air tawar selama setengah juta tahun. Mereka tidak bisa keluar dari Sungai Mahakam lagi. Itu sangat unik dan sayang kalau punah,” tutur Danielle. Dengan jumlah hanya sekitar 60 ekor, ia mendesak pemerintah bertindak cepat. “Mereka tak bisa menunggu terlalu lama. Pemerintah harus segera bergerak," tegas dia.