TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

UU Minerba Layani Oligarki, Rakyat Jadi Pengungsi di Tanah Sendiri

Obral izin tambang sebabkan Kaltim defisit pangan

Ilustrasi lubang bekas galian tambang batu bara ilegal di Waduk Samboja. Sumber: BWS Kalimantan III

Samarinda, IDN Times - Rakyat dipaksa mengungsi di tanah sendiri di tengah hiruk pikuk dunia pertambangan, apalagi setelah UU Minerba sahih mendapat sejumlah perubahan pada Sidang Paripurna Selasa, 12 Mei 2020 lalu. Namun sayang revisi itu tak banyak berikan solusi terhadap masalah tambang di Kaltim. Demikian dikatakan Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, Pradarma Rupang dalam Diskusi Online 'Quo Vadis Undang-Undang Minerba', pada Kamis (21/5). 

Ia mengatakan tak ada dampak signifikan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat di lingkar tambang.

"Justru merekalah yang paling dililit kemiskinan," terangnya. 

Baca Juga: UU Minerba Segera Disahkan, Jatam: Masa Depan Warga Kaltim akan Suram

1. Rakyat harus siap angkat kaki dari tanahnya sendiri

Data penduduk miskin di desa-desa di Kaltim yang ada di lingkar tambang batu bara (Facebook/FH Unmul)

Faktanya begini, kata Rupang, ada 1404 IUP yang diterbitkan baik sebelum otonomi daerah atau setelah otonomi daerah. Kutai Kartanegara paling banyak dengan 625 IUP, namun bukan sejahtera diperoleh warganya melainkan menjadi daerah termiskin di Kaltim. Dan dari 10 kota/kabupaten di Kaltim, sebanyak 7 kota/kabupaten membuka daratannya dikapitalisasi menjadi konsesi tambang.

Lebih dari 43 persen daratan Kaltim dikapitalisasi menjadi konsesi pertambangan batu bara, yang jika digabungkan dengan industri ekstraktif lainnya seperti sawit, migas, justru konsesi ini telah melebihi luas daratan yang ada di Kaltim, ini belum termasuk pesisir dan pulau-pulau kecil.

Desa-desa di Kabupaten Kutai Kartanegara, Rupang mencontohkan, sejak masa transmigrasi telah menjadi lokasi swasembada pangan dan sentra ekonomi. Namun kini justru tanahnya telah tergerus menjadi lokasi tambang. Akibatnya, warga terancam harus pergi dari kampungnya dan menjadi pengungsi di tanah sendiri.

"Desa di Kukar menjadi sentra ekonomi kecil sejak masa transmigrasi, tapi sekarang jadi wilayah tambang, rakyatnya harus siap sedia angkat kaki dari kampungnya  karena tidak ada lahan yang bebas dari cengkeraman batu bara. Tidak hanya yang skala besar tapi juga industri yang dimiliki oleh pengusaha lokal," kata Rupang lagi. 

2. Obral izin pertambangan membuat Kaltim defisit pangan

Dok. IDN Times/Istimewa

Rupang menyebut pemerintah berdalih jika kawasan lumbung pangan ada di Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) tak sebanding antara lahan pertanian dengan lahan untuk pertambangan batu bara untuk menyediakan beras untuk sekitar 3,5 juta jiwa di Kaltim. 

Lahan pertambangan di PPU seluas 203.685 hektare sementara lahan pertanian hanya 21.035 hektare. Begitu juga di Kukar, lahan pertambangan batu bara mencapai 855.456 hektare, sedangkan untuk pertanian cuma 170.732 hektare.

Rupang mengatakan, dengan obral izin pertambangan daerah ini bakal mengalami defisit pangan. Produksi Kaltim hanya 247.263 ton beras, sementara kebutuhan 407.922 ton. Kaltim akan mengalami kekurangan 160.658 ton yang harus diekspor dari Sulawesi, Jawa dan Kalsel.

"Jika pemerintah menggalakkan  swasembada pangan, saya pertanyakan lahan mana lagi yang akan dijadikan lahan pertanian, karena sudah habis untuk konsesi pertambangan," tegasnya. 

Baca Juga: UU Minerba Melemahkan Posisi dan Anak di Lingkungan Tambang

Berita Terkini Lainnya