UU Minerba Melemahkan Posisi dan Anak di Lingkungan Tambang

Sudah banyak anak tewas di lubang tambang di Kaltim

Samarinda, IDN Times - DPR RI telah resmi mengesahkan Revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara menjadi Undang-Undang pada sidang paripurna 12 Mei lalu.

Pengesahan RUU ini menimbulkan polemik di masyarakat lantaran dinilai menguntungkan para pengusaha tambang dan tak memperhatikan nasib warga yang hidup di sekitar tambang, termasuk di Kalimantan Timur. 

Dr. Haris Retno S., SH. MH., Ketua Pusat Studi Hukum Perempuan dan Anak, Fakultas Hukum, Universitas Mulawarman mengatakan salah satu dampak buruk tambang adalah hilangnya nyawa di lubang tambang karena regulasi memungkinkan reklamasi tak dilaksanakan oleh perusahaan tambang. Ironisnya, kasus hilangnya nyawa yang mayoritas nyawa anak-anak ini tak diusut tuntas.  

"Dampak lubang tambang membunuh dan mengancam keselamatan warga. Regulasi terkait reklamasi memang memungkinkan perusahaan untuk pergi begitu saja. Negara menempatkan warganya pada situasi yang mengancam. Kalau kita baca aturan reklamasi, matinya 143 nyawa lubang tambang di Indonesia dan 36 di Kaltim itu pasti terjadi karena UU nya begitu," kata Haris dalam Diskusi Online 'Quo Vadis Undang Undang Minerba yang digelar Program Studi Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Mulawarman, pada Kamis (21/5)

1. Lubang tambang menyingkirkan perempuan dari sumber penghasilannya

UU Minerba Melemahkan Posisi dan Anak di Lingkungan Tambanglubang bekas tambang batu bara (Dok.IDN Times/Istimewa)

Posisi perempuan dan anak semakin rentan karena RUU Minerba yang baru saja disahkan menjadi undang-undang ini semakin mempermudah pengusaha mendapatkan izin tambang. Artinya akan semakin luas wilayah pertanian yang akan beralih menjadi pertambangan, padahal perempuan paling banyak bekerja di sektor pertanian. 

"Perizinan yang begitu penuh ini mau tidak mau menyasar sampai ke ruang hidup perempuan. Persentase kerja perempuan lebih banyak di sektor pertanian. Kalau jadi tambang maka akan menyingkirkan perempuan dari ruang hidupnya," kata Haris.

Akibatnya perempuan jadi kehilangan mata pencaharian dan tergantung secara ekonomi dengan pihak lain dan membuat mereka dalam posisi lemah.

"Tambang menyebabkan perempuan kehilangan mata pencaharian. Kalau diihat dari BPS Kaltim pengangguran terbanyak itu perempuan. Tambang menurunkan pendapatan perempuan, dan menyebabkan perempuan tergantung secara ekonomi baik kepada orangtua, suami, atau saudara laki-laki," ujar Haris.

Baca Juga: Pengamat: Penegak Hukum Cenderung Tak Berdaya dengan Kasus Minerba

2. Hanya 1,2 persen perempuan bekerja di dunia pertambangan

UU Minerba Melemahkan Posisi dan Anak di Lingkungan TambangIlustrasi pertambangan batu bara (IDN Times/Yuda Almerio)

Selain itu, jika disebutkan tambang itu untuk keuntungan ekonomi ia mempertanyakan ekonomi siapa yang sebenarnya disuplai oleh kegiatan pertambangan. Menurutnya, kegiatan pertambangan tak memerlukan banyak tenaga kerja, dan tidak memberikan dampak signifikan pada perekonomian masyarakat sekitar.

"Ekonomi masyarakat yang ditopang tambang hanya 6,7 persen. Dari 6,7 persen itu hanya 1,2 persen perempuan yang bekerja di pertambangan," katanya

Selain itu, kegiatan pertambangan juga menimbulkan lingkungan yang merugikan. Apalagi di dunia internasional batu bara sudah mulai ditinggalkan dan banyak negara memilih beralih ke energi terbarukan. Sudah waktunya Kaltim tak menjadikan hasil tambang sebagai pendapatan utama.

"Kaltim pada 2015 menjadi provinsi paling rendah pertumbuhan ekonominya, minus 6 persen karena harga batu bara jatuh. Apakah bisa dijamin harga batu bara akan naik kembali? Dalam energi dunia, batu bara sudah mulai ditinggalkan karena dianggap energi fosil yang menyumbang dampak perubahan iklim," katanya.

3. Pasal-pasal bermasalah dalam RUU Minerba

UU Minerba Melemahkan Posisi dan Anak di Lingkungan TambangInfografis UU Minerba (IDN Times/Arief Rahmat)

Haris mencermati beberapa pasal yang menurutnya bermasalah, seperti aturan mengenai reklamasi tambang, disvestasi tanpa batas waktu, dihapuskannya pasal tentang kewajiban bertanggung jawab, serta aturan tentang pertanahan yang menempatkan pemilik lahan tambang dalam posisi lemah. 

"Pemerintah yang seharusnya memberikan perlindungan lebih kepada rakyat ketika berhadapan dengan perusahaan, pada ketentuan ini justru pemerintah mewakili perusahaan, sangat aneh karena perusahaan yang bekerja di sektor pertambangan ini mayoritas adalah perusahaan swasta, bahkan di perusahaan- perusahaan besar sahamnya dimiliki oleh perusahaan asing," bebernya. 

Selain itu, ia juga mencermati pasal yang bisa dengan mudah mempidanakan masyarakat terutama yang hidup di sekitar tambang.

"Ancaman terhadap masyarakat yang dianggap menghalang- halangi, merintangi, mengganggu kegiatan pertambangan oleh pemegang izin akan dikenai pidana dalam ketentuan pasal 162," kata Haris.

Selain itu, keberadaan pasal 169 menurut Haris adalah kunci dari UU Minerba yang baru disahkan ini, yakni bertujuan mengembalikan rezim kontrak yang sebelumnya sudah dimatikan oleh UU Nomor 4 Tahun 2009 dan digantikan dengan izin pertambangan.

Sistem kontrak ini dianggap merugikan negara karena posisi kontrol negara dan pemegang adalah sejajar. Sementara, mekanisme izin menempatkan negara di atas pemilik modal atau pengusaha tambang.

Baca Juga: UU Minerba Segera Disahkan, Jatam: Masa Depan Warga Kaltim akan Suram

Topik:

  • Mela Hapsari

Berita Terkini Lainnya