Pemindahan Ibu Kota Baru ke Kaltim Rawan Isu Sosial

Tidak hanya pertimbangan ekonomi dan lingkungan saja

Penajam, IDN Time –  Peneliti dan sejarawan yang juga Direktur Eksekutif Yayasan Biosfer Manusia (Bioma), Akhmad Wijaya mengatakan, pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) dan sebagai wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) harus relevan dengan isu sosial masyarakat sekitar.

“Mengapa aspek sosial penting? Karena pertimbangan sosial IKN harus relevan dengan isu-isu sosial sebagai salah satu alasan pemindahan IKN, sehingga tidak hanya pertimbangan ekonomi dan lingkungan saja,” ujarnya dalam Diskusi Rencana Pemindahan IKN ke Provinsi Kaltim yang digelar oleh Yayasan Bumi 23-24 Januari, di Hotel Novotel Balikpapan.

1. Pentingnya partisipasi, penanganan potensi serta resiko dampak dampak sosial IKN

Pemindahan Ibu Kota Baru ke Kaltim Rawan Isu SosialAkhmad Wijaya (jaket coklat) bersama tokoh adat dan LSM (IDN Times/ Ervan Masbanjar)

Menurutnya, IKN membutuhkan lahan yang menjadi sumber kehidupan masyarakat, terutama masyarakat asli di dalam dan sekitar IKN. Sehingga perlu partisipasi masyarakat, antisipasi potensi serta risiko dampak sosial IKN.

Dalam pertimbangan teknisnya, jelas Wijaya, isu-isu sosial harus menjadi bagian dari rencana dan isu utama pembangunan IKN.

Caranya dengan memperhatikan dan melibatkan masyarakat lokal, dinilai sebagai pendekatan yang paling efisien dan menjadi kunci kesuksesan untuk pemindahan IKN.

Cara ini juga diyakini dapat memberikan jaminan dan kepastian dalam jangka pendek, menengah dan panjang atas kehidupan dan sumber penghidupan masyarakat terdampak beserta pranata sosialnya.

2. Pelibatan masyarakat lokal merupakan penghormatan hak sesuai kerangka hukum nasional dan internasional

Pemindahan Ibu Kota Baru ke Kaltim Rawan Isu SosialSuasana Diskusi Rencana Pemindahan IKN (IDN Times/ Ervan Masbanjar)

Sedangkan menurut pertimbangan yuridis, jelas Wijaya, pelibatan masyarakat khususnya masyarakat adat atau lokal sebagai bentuk penghormatan atas hak-hak masyarakat sesuai kerangka hukum nasional dan internasional.

Ia menjelaskan, Provinsi Kaltim  secara administratif terdiri 10 Kabupaten/Kota, 103 Kecamatan, 197 Kelurahan, 847 Desa, 3.470.883 jiwa.

Secara kartografis dibagi empat zona pesisir dan pulau kecil antara lain, zona orang hilir atau orang laut daratan, zona orang daratan atau orang benua atau Benawa Pedalaman, lalu zona orang hulu atau Dayak Perbatasan, kemudian zona orang atas atau Bawo/Bao/Bahau/Tonyoi

Sementara untuk penduduk aslinya kurang lebih berjumlah  23 suku atau subsuku ditambah dua suku dari Kalimantan Utara (Lundayeh) dan Kalteng (Bakumpai) yang saat ini eksis bermukim di Kaltim.

Sedangkan tipologi desa terdiri dari desa adat, desa tradisional dan desa administratif dengan tipologi masyarakat lokal yakni adat dan tradisional serta masyarakat migran lokal dan urban atau transmigran.

Ia memaparkan, di lokasi calon IKN didominasi penduduk urban dari eks pemukiman transmigran dan sudah ada semenjak tahun 1950 hingga tahun 2000 an, dengan lokasi pemukiman wilayah PPU kecamatan Sepaku, di sekitar IKN: Kecamatan Semoi, Penajam, Petung, Waru, Babulu.

Sedangkan di wilayah Kukar pada Kecamatan Samboja, Loa Kulu, Loa Janan.

Di sekitar IKN di kecamatan Kota Bangun, Muara Kaman, Sebulu termasuk di wilayah Kutai Barat sekitar penyangga IKN di kecamatan Bongan.

Baca Juga: Realisasi Pembangunan Ibu Kota Baru Menanti Omnibus Law tentang IKN

3. Terdapat isu-isu sosial dalam rencana pemindahan IKN ke Kaltim

Pemindahan Ibu Kota Baru ke Kaltim Rawan Isu SosialLokasi Ibu Kota Negara di Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara (IDN Times/Ervan Masbanjar)

Menurutnya, terdapat isu-isu sosial dalam rencana pemindahan IKN ke Kaltim ini yakni masalah tenurial masyarakat asli.

Khususnya suku Paser, Kutai, dan Basap sehubungan dengan hak-hak atas tanah adat yang dipergunakan untuk transmigran di masa lalu, maupun dikuasai oleh pemegang konsesi perusahaan, konservasi, perambahan khususnya di tahura bukit Soeharto, pembukaan lahan baru terkait isu-isu IKN di dalam kawasan hutan atau lahan.

"Jual beli dan alih kepemilikan lahan pascapenetapan IKN menjadi kekhawatiran atas ganti rugi lahan baik di dalam maupun di luar kawasan IKN. Belum lagi timbulnya masalah RTRWDes (Rencana Tata Ruang Wilayah Desa) versus RTRWIK (Rencana Tata Ruang Wilayah Ibu Kota)," kata Wijaya.

Selain itu ia menambahkan, status desa dalam IKN, serta status desa versus kelurahan, dan penduduk asli vs penduduk migran menjadi isu sosial sensitif yang perlu ditangani dengan hati-hati.

4. Masalah-masalah lain yang dapat muncul

Pemindahan Ibu Kota Baru ke Kaltim Rawan Isu SosialMenara Pantau Api di Bukit Soedharmono, Desa Pemaluan, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara (IDN Times/Ervan Masbanjar)

Wijaya menilai, masalah lainnya juga akan muncul seperti lahan-lahan bekas pertambangan yang tidak dilakukan reklamasi, juga kepemilikan lahan pascatambang.

Persoalan sumber daya manusia dan kehidupan sosial ekonomi penduduk asli yang kurang kompetitif dibandingkan penduduk migran urban menjadi potensi masalah lainnya.

Selain itu, juga dapat terjadi permasalahan integrasi budaya lokal dan desa-desa adat dalam konteks pembangunan IKN termasuk konsep tata ruang lokal dan PSDA (Pengelolaan Sumber Daya Air) lokal dalam Rencana Ruang IKN.

Kemudian Free, and Prior Informed Consent (FPIC)/ Padiata berupa hak masyarakat adat dalam proses IKN itu.

"Saya mencontohkan seperti tata ruang dalam masyarakat asli di IKN berupa lahan dan tata guna lahan termasuk usaha kegiatan masyarakat asli selama ini yang merupakan bagian dari Free, and Prior Informed Consent ( FPIC)/ Padiata tersebut," pungkasnya.

Baca Juga: Ini Harapan Masyarakat Adat atas Pemindahan Ibu Kota Baru

Topik:

  • Mela Hapsari

Berita Terkini Lainnya