Pemerintah Segera Luncurkan BBM Kelapa Sawit, LSM: Tak Tepat!

Upah petani dan buruh kelapa sawit masih dianggap tak layak

Balikpapan, IDN Times – Pemerintah Indonesia berencana meluncurkan bahan bakar minyak (BBM) jenis Biofuel 30 (B30) pada awal tahun depan. Namun, rencana ini dinilai aktivis lingkungan tidak mempertimbangkan secara matang dampak buruk dari B30.

Diketahui, biofuel sama seperti biodiesel, yakni, BBM diesel yang sebagian atau seluruh komposisinya berasal dari bahan organik. Sementara B30 adalah BBM diesel dengan komposisi 70 persen solar dan 30 persen minyak sawit.

Humas Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Padi Indonesia, Ismail mengatakan, sebelumnya pemerintah telah merilis B20. Namun pemerintah akan mengganti B20 menjadi B30 pada Januari 2020.

“Beberapa LSM, seperti Padi, Walhi, Greenpeace, menilai rencana ini terlalu tergesa-gesa. Karena di sisi lain kebijakan hijau pemerintah, dalam hal ini penerapan No Deforestation, No Peat Development and No Exploitation (NDPE), belum sepenuhnya dilakukan, bahkan terkesan mengabaikan,” katanya ditemui di kantornya, Balikpapan Kota, Senin (9/12).

1. Karhutla diperkirakan akan semakin luas

Pemerintah Segera Luncurkan BBM Kelapa Sawit, LSM: Tak Tepat!Humas LSM Padi Indonesia, Ismail (IDN Times/Surya Aditya)

Ismail menerangkan, belum tepat menggunakan kelapa sawit sebagai BBM untuk saat ini lantaran masih terjadi beberapa konflik soal kelapa sawit di Indonesia, seperti kebakaran hutan. Masih banyak perusahaan yang membuka lahan perkebunan sawit dengan cara membakar.

Berdasarkan data yang dihimpun Padi Indonesia dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, tercatat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) sepanjang Januari hingga September 2019, seluas 857.756 hektare, dengan luasan lahan mineral 630.451 hektare dan gambut 227.304 hektare. Rata-rata, karhutla ini terjadi Kalimantan dan Sumatra.

Rincinya lagi, di Kalimantan Tengah ada 134.227 hektare luas karhutla, Kalimantan Barat seluas 127.462 hektare, Kalimantan Selatan 113.454 hektare, Riau 75.871 hektare, Sumatera Selatan 52.716 hektare dan Jambi 39.638 hektare.

“Dan ini merupakan kasus kebakaran terbesar selama tiga tahun terakhir,” papar pria berkacamata itu.

Dengan begitu, jika B30 benar-benar dipasarkan, maka dikhawatirkan akan terjadi pembakaran lahan mineral dan gambut lebih luas lagi. Ribuan masyarakat pun akan terpaksa menghirup udara beracun akibat pembakaran lahan.

“BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) menyebutkan masyarakat yang terserang ISPA sejak Februari sampai dengan September 2019 ada 919.516 jiwa,” jelas Ismail.

Baca Juga: Dinas ESDM Kaltim Tegur Perusahaan yang Menambang di SMP 25 Samarinda

2. Petani dan buruh kelapa sawit berpenghasilan dibawah Rp1 juta

Pemerintah Segera Luncurkan BBM Kelapa Sawit, LSM: Tak Tepat!Pembukaan lahan untuk kelapa sawit di Kutai Barat (Sumber: Padi Indonesia)

Selain pembakaran hutan, harga Tandan Buah Sawit (TBS) juga menjadi persoalan berikutnya. Pasalnya, saat ini TBS dijual dengan harga yang sangat murah. Ismail menyebutkan, harga TBS di Indonesia berebeda di setiap daerah. Paling murah TBS dijual Rp900 dan paling mahalnya Rp1300 per TBS.

“Dan itu harganya berubah-ubah terus, hari ini naik, mungkin minggu depan sudah turun lagi,” sebutnya.

Selain harga TBS, penghasilan yang diterima para petani dan buruh kelapa sawit juga masih jauh dari kata layak. Tak sedikit para petani kelapa sawit berpenghasilan di bawah Rp1 juta per bulannya. Hal ini membuat para pelaku lapangan kelapa sawit sulit bisa hidup sejahtera.

“Dalam per bulan tenaga harian lepas tersebut bisa mendapatkan upah yang sangat jauh lebih rendah dari upah minimum yang ditetapkan oleh pemerintah,” bebernya.

3. Pemerintah mesti menyelesaikan permasalahan terkait sawit sebelum menggunakan B30

Pemerintah Segera Luncurkan BBM Kelapa Sawit, LSM: Tak Tepat!Pembakaran lahan gambut di Kalimantan Selatan. Sumber: Padi Indonesia

Oleh karena itulah, beberapa LSM menilai, belum tepat jika harus menggunakan B30 saat ini. Jika konflik-konflik yang terjadi pada perkebunan sawit tadi bisa diselesaikan, barulah B30 pantas dipasarkan secara massal di Indonesia.

Pemerintah, kata Ismail, harus membuat kebijakan berkelanjutan dengan tidak lagi membuka hutan, tidak berkebun di lahan dan hutan gambut serta tidak melakukan eksploitasi terhadap manusia. Kemudian, Pertamina selaku Badan Usaha Milik Negara yang membeli bahan baku minyak nabati untuk pemenuhan 30 persen biofuel, harus menerapkan kebijakan NDPE.

“Dan juga harus ditaati oleh perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit agar kesejahteraan yang menjadi dasar sebuah investasi benar-benar bisa dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat,” tandasnya.

Baca Juga: Proyek Kilang RDMP Serap 45 Persen Pekerja Lokal Asal Balikpapan

Topik:

  • Mela Hapsari

Berita Terkini Lainnya