Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Lonjakan Kasus Perlindungan WNI Jadi Alarm bagi Pemerintah

WhatsApp Image 2025-08-01 at 22.22.30.jpeg
Diskusi bertajuk "Migrasi yang Efektif untuk Pekerja Migran Indonesia (PMI)" dalam Kongres Diaspora Indonesia ke-8 di Ibu Kota Nusantara (IKN), Jumat (1/8/2025). (IDN Times/Erik Alfian)

Nusantara, IDN Times – Direktorat Perlindungan Warga Negara Indonesia, Kementerian Luar Negeri (Kemlu), mencatat lonjakan signifikan kasus perlindungan WNI di luar negeri dalam empat tahun terakhir. Pada 2021 tercatat 29 ribu kasus, naik menjadi 35 ribu di 2022, lalu melonjak ke 53 ribu di 2023, dan mencapai 67 ribu kasus hingga 2024.

"Angkanya selalu meningkat tiap tahun. Ini menjadi wake-up call bahwa kita tak bisa hanya fokus pada penyelesaian kasus," ujar Direktur Perlindungan WNI Kemlu, Judha Nugraha dalam diskusi bertajuk "Migrasi yang Efektif untuk Pekerja Migran Indonesia (PMI)" dalam Kongres Diaspora Indonesia ke-8 di Ibu Kota Nusantara (IKN), Jumat (1/8/2025).

1. Penyelesaian capai 85 persen, tapi kasus baru tetap naik

WhatsApp Image 2025-08-01 at 22.24.00.jpeg
Kementerian Luar Negeri mencatat kasus perlindungan WNI di luar negeri, termasuk PMI terus meningkat setiap tahun. (IDN TImes/Erik Alfian)

Meski angka penyelesaian kasus tergolong tinggi—di atas 85 persen setiap tahunnya—Judha menegaskan bahwa tingginya penyelesaian tak berkorelasi dengan penurunan kasus baru.

"Dari 100 kasus, 85 harus selesai di tahun berjalan. Tapi tetap saja kasus baru terus bertambah. Artinya, kita tak bisa jadi pemadam kebakaran saja," ucapnya. "Kita harus bersama-sama mencari akar masalah."

Dari sekitar 67 ribu kasus yang ditangani pada 2024, mayoritas menyangkut ketenagakerjaan dan pekerja migran yang tidak memiliki izin tinggal dan dokumen yang sah.

“Kalau dokumen lengkap, lebih mudah kami bantu. Tapi kenyataannya, banyak yang berangkat lewat jalur tidak resmi,” kata Judha.

Ia mencontohkan pengalaman saat evakuasi WNI di Wuhan pada awal pandemi COVID-19. Berdasarkan data resmi, terdapat 273 WNI yang dievakuasi. Namun ternyata ada pekerja migran lain yang tak terdata karena tidak memiliki dokumen resmi dan tak melaporkan keberadaannya.

2. Sentil ulah pesilat di Jepang

Ratusan PMI ilegal tiba di Pelabuhan Internasional Kota Dumai (IDN Times/ dok BP3MI Riau)
Ratusan PMI ilegal tiba di Pelabuhan Internasional Kota Dumai (IDN Times/ dok BP3MI Riau)

Dua kasus dominan yang muncul adalah gaji tidak dibayar dan pekerja tidak betah kerja. “Biasanya yang tidak betah itu karena ternyata pekerjaan yang mereka dapatkan tak sesuai dengan informasi awal, seringnya lewat calo,” jelasnya.

Ia menuturkan salah satu contoh kasus di mana seorang WNI ditawari kerja di pabrik, tapi malah ditempatkan di rumah tangga. Meski tidak ada eksploitasi dan gaji lancar, dia memilih kabur karena merasa tidak cocok.

Selama periode 2020–2024, Kemlu menangani lebih dari 7.600 kasus penipuan daring dan sekitar 1.500 kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).

Pada 2023, Kemlu juga berhasil menyelamatkan 19 WNI dari ancaman hukuman mati. Namun, di tahun yang sama, ada 25 WNI yang masih terancam hukuman serupa.

Di sisi lain, Judha juga menyoroti munculnya unnecessary problems atau masalah yang seharusnya bisa dicegah jika pekerja migran Indonesia (PMI) dibekali edukasi yang memadai.

“Misalnya saja aksi pesilat di Jepang yang membentangkan spanduk. Itu menjadi sorotan publik di sana,” ujarnya.

3. Kementerian P2MI janjikan perbaikan

WhatsApp Image 2025-08-01 at 22.25.17.jpeg
Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) Abdul Kadir Karding menyebut pekerja migran salama ini punya kontribusi sangat besar terhadap devisa RI. (IDN Times/Erik Alfian)

Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) Abdul Kadir Karding menyebut pekerja migran selama ini punya kontribusi sangat besar terhadap devisa RI. Dia menyebut, kontribusi devisa yang disumbangkan mencapai Rp253,3 triliun pada tahun lalu, hanya kalah dari devisa migas.

Namun, di tengah kontribusinya yang tinggi terhadap devisa, para pekerja migran menghadapi masalah yang kompleks. Abdul Kadir menyebut, masalah yang kerap dihadapi oleh PMI adalah kekerasan, eksploitasi, pelanggaran hak pekerja, dan human trafficking.

"Yang perlu saya tekankan di sini, 95 persen kasus kekerasan menimpa PMI non-prosedural, dan pemerintah tengah fokus meningkatkan perlindungan serta meninjau ulang sejumlah kebijakan yang dinilai diskriminatif," kata dia dalam forum yang sama.

Karding menyoroti tingginya kerentanan PMI, terutama mereka yang bekerja di sektor domestik. Berdasarkan data, dari total 5,2 juta pekerja migran, sekitar 80 persen bekerja sebagai pekerja rumah tangga (PRT).

"Sebanyak 67,3 persen dari mereka adalah perempuan, dengan latar belakang pendidikan rendah, mayoritas hanya lulusan SD dan SMP," ujarnya.

Menurut Karding, PMI yang berangkat secara non-prosedural menjadi tantangan besar. "Kami tidak memegang data mereka. Kami tidak tahu mereka kerja di mana, dengan siapa, dalam kondisi seperti apa," katanya.

Ia menilai sistem tata kelola migrasi tenaga kerja Indonesia masih lemah, dan inilah akar utama berbagai persoalan. Karding juga menyoroti maraknya skema pemagangan yang ternyata dimanfaatkan sebagai modus kerja terselubung.

"Program magang seperti ini banyak yang tidak terdaftar dan menjadi celah eksploitasi. Ini semua akan kami benahi. Tata kelola keluar-masuknya pekerja migran harus diperketat," tegasnya.

Karding memaparkan saat ini ada empat skema penempatan PMI ke luar negeri, yakni Business to Business (B2B) antar perusahaan, Government to Government (G2G) antar pemerintah, Government to Business (G2B) dari pemerintah ke perusahaan, dan mandiri—misalnya ke Jepang.

Namun, ia mempertanyakan efektivitas skema mandiri untuk sektor pekerja domestik. "Apakah domestic workers bisa masuk skema ini? Rata-rata mereka perempuan, pendidikan rendah. Ini pasti riskan," ujarnya.

4. PMI wajib ikuti prosedur

ilustrasi pekerja migran di bidang hospitality (unsplash.com/Vanna Phon)
ilustrasi pekerja migran di bidang hospitality (unsplash.com/Vanna Phon)

Menteri Karding menegaskan bahwa negara harus hadir untuk memastikan semua proses keberangkatan pekerja migran dilakukan secara prosedural. "Proses ini bisa memakan waktu 4 sampai 6 bulan. Sementara yang non-prosedural tentu lebih cepat, tapi penuh risiko," ungkapnya.

Ia mencontohkan kasus di Arab Saudi, yang sejak 2011 sudah memberlakukan moratorium PMI sektor domestik, namun hingga kini masih ada 495 ribu WNI di sana.

"Mereka kebanyakan berangkat pakai visa ziarah, lalu dikonversi jadi visa kerja. Siapa yang bertanggung jawab jika terjadi kekerasan atau eksploitasi?" ucapnya.

Hal serupa juga terjadi di Kamboja, di mana visa kunjungan kerap diubah menjadi visa kerja secara ilegal. "Ini bukti bahwa sistem kita masih banyak celah. Negara harus hadir secara nyata untuk melindungi PMI kita," tutupnya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Sri Gunawan Wibisono
EditorSri Gunawan Wibisono
Follow Us