Menanti Pahlawan Nasional Kedua dari Kalimantan Timur

Balikpapan, IDN Times - Sultan Aji Muhammad Idris adalah satu-satunya tokoh asal Kalimantan Timur (Kaltim) yang dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Republik Indonesia. Perjuangan untuk mendapatkan pengakuan ini memakan waktu lebih dari dua dekade sebelum akhirnya pada tahun 2020, Sultan AM Idris dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional.
Selain Sultan AM Idris, Kaltim pun mengusulkan sejumlah tokoh lain untuk dianugerahi gelar yang sama. Beberapa di antaranya adalah Pangeran Aji Natakusuma dari Kesultanan Paser, Sultan Aji Muhammad Salehuddin dari Kesultanan Kutai, Raja Alam dari Kesultanan Sambaliung Berau, Awang Long dari Kesultanan Kutai, Sultan Ibrahim Chaliluddin dari Kesultanan Paser, serta Abdoel Moeis Hassan, mantan Gubernur Kaltim periode 1962-1966.
1.Abdoel Moeis Hasan: Pejuang Kaltim yang layak dikenang

Abdoel Moeis Hassan dikenal sebagai tokoh kelahiran Samarinda yang berperan penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia di Kalimantan Timur pada periode 1946–1949. Dalam buku Historipedia Kalimantan Timur: Dari Kundungga, Samarinda, hingga Ibu Kota Nusantara karya Muhammad Sarip dan Nanda Puspita Sheilla (2020), disebutkan bahwa Abdoel Moeis terlibat aktif sebagai Ketua Front Nasional Kalimantan Timur, yang menentang upaya penjajahan kembali oleh Belanda. Pada akhir tahun 1949 hingga awal 1950, ia turut mengusulkan agar Keresidenan Kalimantan Timur ke luar dari Negara Federal Republik Indonesia Serikat (RIS) dan bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Tak hanya aktif di masa perjuangan, Abdoel Moeis juga memperjuangkan pembentukan Provinsi Kalimantan Timur melalui Kongres Rakyat Kalimantan Timur pada tahun 1954. Selain itu, ia juga pernah menjabat sebagai wakil rakyat Kaltim di parlemen pusat, baik di Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) maupun di Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada 1960-1962. Puncak kariernya adalah saat ia dipercaya menjadi Gubernur Kalimantan Timur pada periode 1962-1966.
2. Pengajuan nama Pahlawan Nasional menjadi inspirasi masyarakat Kaltim

Menurut sejarawan publik Kaltim, Muhammad Sarip, pengajuan gelar Pahlawan Nasional untuk Abdoel Moeis Hassan merupakan inisiatif masyarakat Kalimantan Timur yang dilanjutkan oleh Pemerintah Provinsi Kaltim kepada Kementerian Sosial pada Februari 2024. “Sayang, hingga kini belum ada kabar lebih lanjut mengenai usulan ini,” kata Sarip, mengungkapkan bahwa meski berkas-berkas pendukung telah dilengkapi, belum ada perkembangan signifikan.
Sarip menjelaskan, pengajuan Abdoel Moeis Hassan sedikit berbeda dengan Sultan AM Idris. Jika pada kasus Sultan AM Idris prosesnya cukup lama namun akhirnya disetujui berkat adanya diskresi dari pemerintah pusat, pengajuan Abdoel Moeis Hassan masih membutuhkan dukungan penuh dari pihak terkait.
Sarip menguraikan bahwa penetapan Sultan AM Idris sebagai pahlawan nasional juga dipengaruhi oleh momentum pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke Kaltim, yang mendorong pemerintah pusat untuk mendukung tokoh-tokoh dari daerah yang belum memiliki Pahlawan Nasional. Nama Abdoel Moeis Hassan sebenarnya telah diusulkan sejak 2018 melalui diskusi publik, bahkan tanpa sepengetahuan keluarganya. “Ini murni keinginan publik agar Abdoel Moeis Hassan tak dilupakan. Tidak ada kepentingan politik praktis dalam usulan ini,” tegasnya.
3. Pemberian Gelar Pahlawan Nasional: Antara Kepentingan Sosial, Politik, dan Gengsi

Di tengah masyarakat Kaltim, khususnya Samarinda, masih terdapat kebingungan tentang sosok Abdoel Moeis Hassan. Banyak yang mengira bahwa Abdoel Moeis Hassan telah diabadikan sebagai nama rumah sakit, yakni RS IA Moeis. “Padahal, Abdoel Moeis Hassan adalah mantan gubernur Kaltim, sementara IA Moeis bukan. Tokoh yang kami usulkan adalah Abdoel Moeis Hassan,” jelas Sarip.
Nama Abdoel Moeis Hassan kini telah diabadikan sebagai nama jembatan di Loa Janan, Samarinda, yang sebelumnya dikenal dengan Jembatan Mahakam Ulu (Mahulu). Sarip menyebut bahwa penyematan nama tokoh pada fasilitas publik menjadi salah satu syarat penetapan gelar Pahlawan Nasional, seperti perubahan nama Bandara Sepinggan Balikpapan menjadi Bandara Sultan Aji Muhammad Sulaiman Sepinggan Balikpapan.
Di sisi lain, pemberian gelar Pahlawan Nasional sering kali dipengaruhi faktor politik dan dinamika sosial. Sarip mencontohkan tokoh Sutan Sjahrir yang meski berstatus tahanan sipil saat meninggal, langsung dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. “Langkah ini dapat dianggap sebagai upaya untuk memulihkan nama baiknya,” ujar Sarip. Namun, tokoh lain seperti Tan Malaka yang dianugerahi gelar pahlawan pada 1960-an, justru dihapus dari daftar pahlawan nasional karena dianggap berideologi komunis.
Sarip menambahkan bahwa pada tingkat daerah, gelar Pahlawan Nasional kerap kali dipengaruhi oleh gengsi, prestise, serta keinginan masyarakat untuk memuliakan nama tokoh yang berpengaruh di wilayahnya.