Pembunuh Jurnalis Dipindah Diam-diam ke Balikpapan, Keluarga Korban Kesal

Banjarbaru, IDN Times – Sepekan setelah divonis penjara seumur hidup dan diberhentikan dari dinas militer, terpidana kasus pembunuhan berencana terhadap jurnalis Juwita (22), yakni Jumran, mendadak dipindahkan ke Lapas Balikpapan. Keputusan ini menuai protes dari pihak keluarga korban dan tim kuasa hukum.
“Pemindahan Jumran dilakukan diam-diam, tanpa pemberitahuan resmi kepada kami sebagai keluarga maupun kuasa hukum,” ujar Muhamad Pazri, kuasa hukum keluarga Juwita, dalam pernyataan resmi pada Senin (1/7/2025).
Padahal, lanjut Pazri, sejak proses penyidikan hingga vonis di Pengadilan Militer Banjarbaru, semua tahapan dijalankan secara terbuka dan selalu melibatkan pihak keluarga korban.
“Tapi setelah putusan inkrah, justru muncul kejanggalan. Eksekusi pidana dilakukan tanpa transparansi,” imbuhnya.
1. Otmil Banjarmasin menyatakan kepindahan Jumran karena permintaan

Keluarga Juwita pertama kali mengetahui pemindahan itu dari sebuah foto yang mereka terima pada Rabu lalu. Dalam foto tersebut, tampak Jumran sedang dikawal oleh anggota TNI di bandara.
Merasa kecolongan informasi, keluarga dan tim hukum segera mendatangi Kantor Oditurat Militer III-15 Banjarmasin untuk meminta penjelasan. Beberapa jurnalis yang ikut meliput ke sana pun tak mendapat keterangan resmi dari pihak Otmil.
“Saat kami konfirmasi, Kepala Oditurat menyampaikan bahwa pemindahan dilakukan atas permintaan Danlanal Balikpapan. Katanya, ada berkas yang harus dilengkapi oleh Jumran di sana,” jelas Pazri.
2. Simpang-siur soal pemindahan terdakwa

Namun, setelah pihak keluarga menghubungi Lanal Balikpapan, Danlanal justru menyatakan tidak mengetahui adanya permintaan seperti itu dan menyebut keputusan sepenuhnya berada di tangan Oditurat Militer.
Pazri menilai langkah ini menyalahi prosedur hukum dan mencederai prinsip keadilan. Ia menyoroti potensi pelanggaran administratif, asas transparansi, dan kemungkinan penyalahgunaan kewenangan oleh aparat militer.
“Berdasarkan Pasal 256 ayat (3) UU No. 31 Tahun 1997, terpidana militer yang telah diberhentikan dari dinas (PTDH) seharusnya menjalani hukuman di Lapas umum. Tapi pemindahan ke luar wilayah harus sesuai prosedur, dan bukan sepihak oleh militer,” jelasnya.
3. Kewenangan Kepala Kanwil Kemenkumham, bukan aparat militer.

Lebih lanjut, Pazri menyinggung UU No. 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan yang menyebut bahwa pemindahan narapidana harus menjadi kewenangan Kepala Kanwil Kemenkumham, bukan aparat militer.
“Apalagi ini dipindahkan ke luar wilayah locus delicti tanpa alasan jelas. Ini melanggar prinsip keadilan geografis dan hak-hak korban,” tegasnya.
Menurut Pazri, hingga kini tidak ada keputusan pengadilan ataupun dokumen resmi yang menyatakan bahwa Lapas Banjarbaru tidak layak atau tidak dapat menampung Jumran. Ia bahkan mencurigai pemindahan ini berpotensi memberi fasilitas atau perlakuan khusus kepada pelaku.
“Jarak yang jauh dari keluarga korban bisa mempersulit pengawasan dan membuka celah bagi ketidakadilan. Ini tentu mencederai rasa keadilan publik,” katanya.
4. Tuntutan resmi keluarga korban

Untuk itu, keluarga korban melalui tim hukum mengajukan lima poin tuntutan kepada pihak terkait:
Menolak pemindahan Jumran ke Lapas Balikpapan dan meminta agar seluruh dasar administratif pemindahan dibuka ke publik.
Mendesak pemindahan Jumran kembali ke Lapas Banjarbaru, sesuai lokasi kejadian dan yurisdiksi pengadilan.
Meminta proses administrasi dilakukan secara transparan dan akuntabel, termasuk pemberitahuan kepada keluarga dan kuasa hukum untuk setiap tindakan eksekusi.
Menuntut tanggung jawab Oditurat Militer atas kurangnya informasi yang memicu keresahan dan trauma baru bagi keluarga korban.
Mendesak pelaksanaan upacara PTDH secara terbuka, disaksikan oleh keluarga sebagai bentuk pemulihan moral dan simbol keadilan.
Pazri juga menyampaikan bahwa pihaknya telah meminta atensi dari Panglima TNI, Komisi III dan XIII DPR RI, Komnas HAM, Kemenkumham, serta Ombudsman RI agar turut mengawasi proses ini.
"Keadilan itu bukan hanya soal vonis, tapi juga bagaimana pidana dijalankan secara adil, transparan, dan berpihak pada korban serta masyarakat,” tutup Pazri.