Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Polemik Dua Sultan, Satu Takhta: Siapa Pewaris Sah Budaya Banjar?

Pangeran Cevi saat dikukuhkan sebagai Raja Kebudayaan Banjar oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon, di Jakarta.

Banjarmasin, IDN Times - Siapa sosok yang pantas menyandang gelar Sultan Kebudayaan Banjar masih menjadi perdebatan hangat di tengah masyarakat Kalimantan Selatan. Dua nama mencuat: Sultan Khairul Saleh yang menghidupkan kembali Kesultanan Banjar sejak 2013, dan Pangeran Cevi Yusuf Isnendar yang belum lama ini dikukuhkan sebagai Raja Kebudayaan Banjar oleh Menteri Kebudayaan, Fadli Zon.

1. Status Raja Banjar jangan sampai jadi alat politik

Zulfaisal Putera

Budayawan Kalimantan Selatan, Zulfaisal Putera, menyatakan bahwa masing-masing tokoh memiliki latar belakang kuat yang menjadi dasar klaim mereka. Namun, yang menjadi pertanyaan, sejauh mana mereka mampu membaur dengan masyarakat dan membawa nilai-nilai budaya Banjar ke tengah kehidupan sehari-hari?

“Jangan-jangan gelar ini hanya dijadikan alat politik. Klaim masing-masing bisa saja benar, tergantung dari sudut pandang mana melihatnya,” ujar Zulfaisal kepada IDN Times.

2. Pangeran Cevi apakah bisa berbaur dengan warga Banjar

Sultan Khairul Saleh saat dinobatkan sebagai Raja Banjar di Martapura.

Ia berharap siapa pun yang menyandang gelar Sultan Banjar mampu menjaga marwah budaya Banjar yang kaya akan nilai adat, seni, dan sosial yang diwariskan secara turun-temurun.

“Kalau memang Pangeran Cevi, kita lihat saja bagaimana perannya ke depan. Apakah bisa menyatu dengan masyarakat, atau justru menjadi sultan yang jauh dari mata karena berdomisili di Cirebon, Jawa Barat,” tambahnya.

3. Penobatan Raja Banjar dinilai rancu

Pangeran Cevi bersama istri dalam penobatan Raja Kebudayaan Banjar

Sementara itu, antropolog Universitas Lambung Mangkurat, Nasrullah, menyoroti proses penobatan raja kebudayaan yang menurutnya tidak boleh dianggap remeh. Ia menilai, penobatan yang dilakukan di luar tanah Banjar menimbulkan tanda tanya besar dari sisi legitimasi budaya.

“Kalau penobatannya di Jakarta, berarti ada proses deteritorialisasi. Sulit membayangkan Kesultanan Banjar tanpa ikatan dengan tanah asalnya. Aneh kalau disebut Kerajaan Banjar Jakarta,” tegasnya.

Ia juga menyoroti istilah raja kebudayaan Banjar yang dinilai rancu. “Bagaimana mungkin seseorang dianggap mewakili budaya Banjar jika ia bahkan tidak tinggal di Kalimantan? Kebudayaan bukan sekadar simbol, tapi keterlibatan nyata dalam kehidupan masyarakat,” pungkasnya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Hamdani
SG Wibisono
Hamdani
EditorHamdani
Follow Us