Rockafiller Kritik LMKN: Royalti Musik Tak Jelas, Musisi Lokal Terpinggirkan

Balikpapan, IDN Times – Polemik royalti musik kembali disorot musisi lokal. Keberadaan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) dinilai belum memberi manfaat nyata, terutama bagi band dan musisi daerah. Selain dianggap belum memiliki database yang komprehensif, pembagian royalti yang dikelola LMKN juga dipertanyakan transparansinya.
Dandi Anggoro Aji, musisi Balikpapan sekaligus pentolan band Rockafiller, menilai sistem royalti yang ada saat ini belum mampu menjawab kebutuhan musisi lokal. Ia menegaskan, sampai hari ini, peran LMKN nyaris tidak terasa. “Sampai saat ini nol. Nonsense, tidak ada pengaruh sama sekali,” tegas Dandi.
Menurutnya, jika persoalan database dan transparansi distribusi tidak segera dibenahi, musisi daerah akan terus berada di pinggir industri musik nasional.
1. Royalti belum pernah dirasakan Rockafiller
Rockafiller, yang beranggotakan Dandi, Fachrillah dan Hadi Ferro hingga kini tidak pernah menerima royalti meski karyanya diputar di ruang publik maupun platform digital. Dandi menilai pemutaran lagu justru lebih banyak membantu publikasi band dibanding memberi keuntungan finansial.
“Kalau maksudnya diputar secara digital melalui device seperti HP, laptop, iPad, atau MP3 player—itu sifatnya digital playback, bukan dimainkan oleh manusia secara live (seperti DJ set atau band performance). Nah, kalau dalam konteks itu, lagu Rockafiller memang pernah dipakai, tapi kami tidak pernah menerima royalti. Bahkan, kami juga tidak mengharapkan royalti dari situ,” kata Dandi.
Menurutnya, pemutaran lagu justru membantu publikasi band. “Saya sepakat dengan beberapa musisi nasional bahwa pemutaran itu sebenarnya salah satu bentuk publikasi. Publikasi itulah yang sangat membantu Rockafiller sampai hari ini, sehingga kami bisa dikenal lumayan luas di beberapa kota di Indonesia. Alhamdulillah,” tambahnya.
Meski begitu, ia menegaskan harus ada pembeda antara penggunaan karya untuk tujuan komersial dan non-komersial. “Kalau dari sudut pandang Rockafiller, jujur kami tidak keberatan sama sekali kalau karya dipakai tanpa izin—apalagi kalau ada izin, tentu lebih baik dan lebih sopan,” katanya.
Sebagai contoh, Dandi menyinggung pengalaman dengan komunitas motor di Tenggarong. “Mereka bikin video pre-show riding motor, mau pakai lagu Rockafiller. Mereka DM kami untuk minta izin. Kami senang sekali, karena itu artinya komunitas dengan basis massa kuat ikut membantu publikasi,” ujar Dandi yang berposisi sebagai drummer Rockafiller.
Namun, ia menolak jika karya dipakai tanpa izin lalu diubah esensinya. “Itu jadi masalah. Misalnya, lagu diaransemen ulang, diubah jadi genre lain, lalu diunggah di platform digital untuk menghasilkan keuntungan bagi pihak lain. Itu agak problematis.”
Dandi mencontohkan kasus Superman Is Dead. “Lagu Sunset di Tanah Anarki pernah digunakan Via Vallen dalam format dangdut koplo tanpa izin. Itu memang publikasi besar, tapi SID tidak setuju karena esensi lagu berubah. Setiap lagu punya nilai esensial atau bahkan magis dalam lirik maupun musikalitasnya. Kalau esensi itu diubah, maka maknanya jadi hilang. Padahal sebenarnya mudah saja: tinggal DM untuk minta izin. Tidak semua musisi perhitungan soal lagu yang dipakai di ruang publik,” jelasnya.
2. Sistem royalti dinilai belum adil dan belum transparan

Menurut Dandi, sistem royalti saat ini jelas belum adil dan transparan. “Masalah royalti sejauh ini hanya terjadi di kota-kota besar. Di daerah, di second city atau third city, kasus royalti hampir tidak ada. Kalau pelanggaran hak cipta memang ada beberapa kasus, tapi royalti? Sejauh ini nihil,” katanya.
Hal ini, menurutnya, karena musisi daerah justru merasa terbantu dengan adanya publikasi. “Tetapi kalau bicara secara umum, sistem royalti jelas belum adil dan transparan. Tidak ada ukuran objektifnya,” tegasnya.
Dandi mempertanyakan apakah LMK benar-benar tahu detail penggunaan lagu di ruang publik. “Apakah LMK benar-benar tahu berapa lagu yang diputar di tiap coffee shop? Lewat medium apa? Spotify? YouTube? Joox? Deezer? Amazon? Bandcamp? Bahkan SoundCloud? Tidak ada database yang jelas,” kritik Dandi.
Ia memberi gambaran sederhana. “Satu coffee shop buka 8 jam. Kalau satu lagu rata-rata 5 menit, berarti ada ratusan lagu diputar. Bagaimana pembagian royaltinya? Bagaimana transparansinya? Sumber datanya saja tidak ada,” sebut dia.
Menurutnya, royalti bisa dibagi dalam dua kategori, yakni digital/online dan live stage/offline. Untuk kategori live, pengawasan lebih penting karena datanya bisa dikumpulkan melalui setlist. “Event besar dengan skala komersial seharusnya punya setlist dari semua band yang tampil. Dari setlist itu bisa terlihat mana lagu original, mana lagu cover. Kalau ada lagu cover, jelas royalti harus diberikan ke pencipta aslinya,” jelasnya.
“Kalau setlist dicatat dengan baik, maka jelas, event A, tanggal sekian, band ini bawakan lagu ini, ini, dan ini. Itu penting, karena dalam satu lagu ada banyak pihak terlibat: songwriter, arranger, produser, sound engineer, bahkan additional player. Masing-masing punya haknya. Tapi lagi-lagi masalahnya: bagaimana cara data itu dikumpulkan saja belum kredibel, gimana mendistribusikannya?” lanjut Dandi.
Ia juga menyoroti minimnya database musisi lokal. “Apakah semua band sudah terdaftar di LMK atau WAMI untuk bisa menerima distribusi royalti? Bagaimana LMK tahu ada Rockafiller atau band lokal di Samarinda, Balikpapan, Tenggarong, dan kota lain? Mereka tidak punya database itu.”
Untuk itu, Dandi mengusulkan adanya LMK daerah. “Supaya database kita komplit. Misalnya, selama lima tahun terakhir ada berapa band lahir, berapa karya dirilis, berapa album, single, video musik, artwork, dan lain-lain. Kami punya, tapi pemerintah tidak punya database akar rumput. Padahal itu fundamental,” katanya.
Sebagai contoh, ia menyinggung sebuah kafe di Balikpapan yang menggelar tribute. “Mereka tetap harus bayar royalti meskipun tribute. Nominalnya dua digit. Dan akhirnya dibayar secara profesional oleh penyelenggara, bukan musisi. Itu menunjukkan karya memang harus diapresiasi karena proses pembuatannya tidak sederhana. Di balik satu band, ada banyak orang yang hidup dari musik: penulis lirik, arranger, produser, mixing-mastering engineer, dan lain-lain. Mereka punya hak karena menjadikan itu sumber mata pencaharian,” jelasnya.
3. Musisi lokal butuh ruang dan kesempatan tampil

Menurut Dandi, hal yang paling aman saat ini bagi musisi adalah distribusi digital. “Saat ini yang paling aman adalah digital streaming platform: YouTube, Spotify, Joox, Deezer, Apple Music. Dari situ jelas siapa merilis apa. Patokan kami dari situ aja,” katanya.
Namun ia menilai perlu ada lembaga yang lebih dekat dengan musisi lokal. “Harusnya ada lembaga/organisasi/komunitas yang melindungi hak cipta dengan cara mendaftarkan. Bisa Ekraf, Dispora, atau LMK tingkat daerah atau kolektif lokal yang memang berfungsi untuk mengarsipkan dan melibatkan artis. Label biasanya mengurus ini (hak cipta), tapi banyak musisi indie/independen mengurus sendiri,” tambahnya.
Ketika ditanya seberapa besar peran LMK saat ini, ia menjawab tegas. “Sampai saat ini nol. Nonsense, tidak ada pengaruh sama sekali,” ujarnya.
Dandi berbicara dengan pengalaman sebagai musisi Rockafiller yang telah menulis, mengaransemen, menciptakan karya, bahkan melakukan tur ke berbagai kota besar pada 2023 dan 2025. “Kami sudah tur ke Jabodetabek, Bandung, Jogja, Depok, Tangsel. Dari pengalaman itu saya melihat bagaimana industri di kota besar menghargai karya lokal. Band-band original diapresiasi,” ujarnya.
“Sedangkan di Balikpapan, ada ratusan bahkan ribuan karya musisi lokal, tapi jarang sekali diberi panggung besar. Event besar justru lebih banyak membawakan karya band nasional. Kalau begini, kapan karya lokal dihargai? Kita sering bicara soal dukungan UMKM. Tapi kalau bicara musik, justru produk lokal tidak dianggap. Padahal karya musik juga bisa jadi ‘produk lokal’ yang membanggakan,” tambahnya.
Ia menegaskan, yang paling dibutuhkan musisi lokal adalah ruang dan kesempatan tampil. “Ruang untuk tampil di panggung besar, kesempatan agar karya bisa dikenalkan ke audiens luas. Kalau band-band lokal Balikpapan bisa tumbuh besar, tampil di luar kota, bahkan di luar negeri, itu akan jadi kebanggaan bagi Balikpapan sendiri,” jelasnya.
“Soal royalti, hingga kini belum ada pengaruh signifikan. Tapi soal hak cipta, penting sekali dijaga. Banyak band yang menggratiskan lagunya untuk publikasi. Itu tidak masalah, selama esensinya tidak diubah. Musik itu universal. Selama esensi dijaga, kita ada di jalan yang sama,” pungkas Dandi.