Sekolah Rakyat untuk Warga Miskin, Akademisi: Jangan Sampai Mubazir

Banjarmasin, IDN Times - Pemerintah Kota Banjarmasin tengah menyiapkan Program Sekolah Rakyat (SR) sebagai solusi pendidikan bagi warga miskin dan miskin ekstrem. Program ini merupakan salah satu agenda strategis Presiden RI terpilih, Prabowo Subianto, dan pelaksanaannya berada di bawah Kementerian Sosial.
Kepala Dinas Sosial Kota Banjarmasin, Nuryadi, mengungkapkan bahwa tempat penyelenggaraan SR sudah dipersiapkan di kawasan Kompleks Mulawarman. Meskipun belum memenuhi syarat minimal luas lahan 4.000 meter persegi, pihaknya tetap optimistis program ini bisa berjalan.
"SR di Banjarmasin kami siapkan di gedung wilayah Mulawarman. Saat ini sedang dalam proses pengajuan, termasuk proses penerimaan siswa," ujar Nuryadi, Jumat (24/5/2025).
1. Proses verifikasi masih berlangsung

Nuryadi menyebutkan, hingga kini tercatat ada 100 calon siswa yang mendaftar, terdiri dari 50 calon siswa tingkat SMP dan 50 calon siswa tingkat SMA. Namun, proses verifikasi terhadap data mereka masih berlangsung.
"Data mereka sedang kami cocokkan dengan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Bila termasuk dalam penerima Program Keluarga Harapan (PKH), maka mereka berpeluang besar diterima," jelasnya.
Pihak Dinsos juga tengah berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan untuk membahas ketersediaan tenaga pengajar, mengingat salah satu tantangan utama program ini adalah kualitas pengajaran.
2. Sekolah rakyat bisa tumpang tindih dengan program formal

Meski SR menjanjikan pendidikan gratis dan berkualitas, Akademisi Universitas Islam Kalimantan (Uniska), Dr Hengky, memberikan sejumlah catatan kritis. Menurutnya, SR bisa menjadi solusi kesenjangan akses pendidikan, namun harus dijalankan secara profesional dan berkelanjutan.
"Program ini perlu sinergi dengan sekolah umum, LSM, dan lembaga pelatihan agar kualitas dan legalitas pendidikannya terjamin. Jangan sampai malah menambah segregasi pendidikan antara 'sekolah untuk si miskin' dan 'sekolah umum'," kata Dekan FKIP Uniska itu.
Ia menekankan pentingnya keterlibatan guru formal atau pelatihan khusus bagi instruktur SR, agar mutu pengajaran tidak jauh tertinggal dibanding sekolah formal.
3. Risiko mubazir dan tantangan sosial

Dr Hengky juga menyoroti potensi tumpang tindih dengan program bantuan pendidikan yang sudah ada, seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP), dana BOS, dan PKBM.
"Kalau tidak dikelola dengan baik, SR berisiko mubazir. Apalagi di perkotaan, bangunannya bisa tidak terpakai kalau peminatnya minim," tegasnya.
Ia mengungkapkan, banyak anak dari keluarga miskin lebih memilih membantu orang tua mencari nafkah ketimbang melanjutkan sekolah. Hal ini menunjukkan bahwa tantangan pendidikan tidak hanya pada ketersediaan fasilitas, tetapi juga pada pola pikir dan kesadaran masyarakat.
"Pemerintah dan tokoh masyarakat harus aktif menyosialisasikan pentingnya wajib belajar 12 tahun, atau bahkan mendorong regulasi baru wajib belajar 15–16 tahun," tutupnya.