TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Isu Mikroplastik yang Meresahkan, Dijawab para Ahli

Penelitian mikroplastik butuh waktu panjang

ilustrasi mikroplastik (dreamstime.com/Nancy Anderson)

Balikpapan, IDN Times - Isu tentang bahaya mikroplastik masih menjadi topik hangat di akhir-akhir ini. Penelitian tentang dampak negatif peluruhan sampah plastik yang disebut mengontaminasi ekosistem lingkungan hingga mengancam kesehatan manusia. 

Zat kimia plastik ini diduga bisa memicu penyakit kanker, gagal organ liver, dan ginjal pada manusia. Akan terlihat pada kurun waktu tertentu, dari kurun waktu belasan hingga puluhan tahun ke depan.

Tetapi hipotesis ini baru-baru ini dibantah akademisi lain, dari Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, Institut Teknologi Bandung (ITB) hingga Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Dalam Webinar Online Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, "Mengenal Mikroplastik dan Dampaknya pada Lingkungan dan Kesehatan".

Baca Juga: Penelitian Unmul Temukan Nanoplastik dalam Kandungan Ikan 

1. Peneliti mikroplastik Universitas Katolik Soegijapranata Semarang

Ilustrasi sampah plastik (ANTARA FOTO/Irwansyah Putra)

Peneliti mikroplastik Universitas Katolik Soegijapranata Semarang Inneke Hantoro mengatakan, sudah melakukan penelitian tentang kandungan mikroplastik pada seafood dan air minum sejak 2017 hingga sekarang. Mikroplastik sendiri adalah sejenis bahan plastik yang memiliki ukuran antara 5 mm atau 1 mm.  

"Ukurannya tidak beraturan dan itulah yang kemudian kami sebut sebagai mikroplastik," paparnya. 

Sumber mikroplastik di lingkungan ini, menurut Inneke, akan bisa bermacam-macam, di antaranya primary microplastics dari pabrikan sudah berukuran microscopic.  "Ada dalam kosmetik, pasta gigi dan sebagainya," ungkapnya. 

Sedangkan yang kedua sumbernya adalah secondary microplastics merupakan degradasi plastik di alam karena paparan sinar matahari, gelombang arus laut, hingga gerakan mekanik.  

Persoalan utama plastik ini, kata Inneke adalah sifatnya yang ubiquitos atau ada di mana-mana.  "Sejak 2015, banyak artikel publikasi ilmiah yang menyampaikan mikroplastik di berbagai hal, mulai dari udara, air, tanah, sedimen, termasuk bahan pangan yang kita konsumsi," tuturnya. 

"Bahkan ditemukan mikroplastik di Kutub Utara dalam bentuk serat, ternyata bisa berpindah lewat atmosfer." 

2. Bagaimana mikroplastik masuk dalam tubuh manusia

Peneliti mikroplastik Universitas Katolik Soegijapranata Semarang Inneke Hantoro. Foto screenshoot Webinar AJI Jakarta

Inneke mengatakan, mikroplastik bisa masuk dalam tubuh manusia, yakni lewat pencernaan, pernapasan, hingga kulit. Sejumlah penelitian pun menyebutkan keberadaan plastik di tubuh manusia, mulai dari feses, usus, jalur masuk nutrisi, dan darah. 

Pertanyaannya sekarang, menurut Inneke, apa dampak atas masuknya zat mikroplastik tersebut bagi kesehatan tubuh manusia. Terutama dari pangan yang dikonsumsi manusia. Apakah mikroplastik ini bisa dikategorikan sebagai food hazard  jika memberikan bahaya bagi tubuh manusia. 

Untuk harus ada evaluasi risiko. 

"Dengan identifikasi hazard, karakternya bagaimana, studi paparan mikroplastik pada tubuh manusia, dan terakhir karakterisasi risiko," ujarnya.

Inneke mengatakan, empat evaluasi risiko tersebut harus dilakukan guna menjawab pertanyaan, tentang dampak mikroplastik pada tubuh manusia. Persoalan saat ini, penelitian ahli di seluruh dunia tentang mikroplastik masih terbilang awal, yakni baru memasuki tahap pertama dan kedua. 

"Metode penelitiannya berbeda-beda dan sejauh ini belum ada standar metodenya. Peluang untuk terjadi kontaminasi dari lingkungan sangat-sangat tinggi. SOP penjaminannya juga belum ada," paparnya dalam kendala di lapangan.

Sehubungan itu, Inneke berpendapat akan sulit dalam membandingkan antara hasil studi satu dengan studi lainnya. Padahal dalam mengevaluasi risiko tersebut harus mengumpulkan data-data dari banyak hasil studi penelitian. 

"Untuk kita analis dan dibandingkan. Sekarang ini sulit untuk dilakukan dan jalannya masih sangat panjang," ujarnya. 

Termasuk dalam penentuan ambang batas maksimal mikroplastik boleh ditetapkan. 

"Harus ada data toxicology datanya dulu, kalau toxicology datanya belum tersedia, kita tidak  bisa menentukan maksimum limit mikroplastik pada produk pangan," paparnya. 

3. Penguatan hipotesis juga disampaikan ahli ITB

Pakar dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Akhmad Zainal Abidin. Screenshoot webinar AJI jakarta

Pakar dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Akhmad Zainal Abidin turut berkomentar soal hipotesis mikroplastik yang dianggap berbahaya bagi kesehatan. Ia berpendapat, secara ukuran mikroplastik tidak berdampak signifikan pada tubuh manusia. 

Pasalnya saat memasuki saluran pencernaan, mikroplastik tersebut akan langsung ke luar dari tubuh manusia lewat feses. 

"Itu tidak masalah masuk dalam tubuh, akan ke luar lagi," tuturnya. Terkecuali bila yang masuk adalah nanoplastik, di mana ukurannya di bawah 1 mm dan dikhawatirkan masuk dalam sistem jaringan darah maupun sel manusia. 

Dalam sebuah research, ahli Laboratorium Teknologi Polimer dan Membran Prodi Teknik Kimia ITB ini pun mengaku sempat melakukan penelitian kandungan air sumur, sumber, dan air proses. Dari penelitian itu, Akhmad menemukan data mengejutkan di mana seluruh air tersebut ternyata terdapat kandungan mikroplastik. 

Meskipun begitu, ia enggan untuk buru-buru mengambil kesimpulan. Akhmad mengaku cukup menemui kesulitan dalam menemukan sumber dari pencemaran tersebut. Ia tidak memungkiri potensi adanya kesalahan dalam proses pengambilan sampel air. 

"Perlu penelitian lebih lanjut soal ini agar bisa teridentifikasi dengan baik," sebutnya. 

Terbaru ini, Akhmad mengaku sudah melakukan penelitian kualitas dari ratusan sampel air minum dari pelbagai sumber. Dari penelitian itu, ia menyimpulkan, adanya kandungan mikroplastik dalam sampel air minum. Tetapi dengan jumlah yang sangat kecil, bahkan di bawah ambang batas standar ditentukan Eropa.

"Kalau Eropa itu standarnya 6 ya, sedangkan kalau kita itu masih 4 ke bawah. Saya merasa lega dengan penemuan sampel-sampel itu," ungkapnya.   

Lebih lanjut, Akhmad mempertanyakan adanya sejenis material yang dipertanyakan gugusnya, apakah benar berasal dari kandungan plastik atau bukan. Kesimpulannya, ia menegaskan, dampak pencemaran mikroplastik pada tubuh manusia belum bisa dipastikan kebenarannya. Menurutnya, butuh penelitian panjang dari para pakar dengan mengkaji baik secara fisik maupun kimia. 

Sementara ini, dunia belum menentukan standar tentang keberadaan mikroplastik yang dianggap bisa berdampak negatif pada kesehatan manusia. 

4. Pandangan BRIN soal mikroplastik

Gedung Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) (brin.go.id)

Sementara itu, Pusat Riset Kimia Maju BRIN Andreas menyatakan, penelitian mikroplastik mayoritas dilakukan di perairan, dalam tanah, produk makanan laut, dan makanan olahan.  Pada umumnya penelitian mikroplastik ini, menurutnya, hanya menyasar analisis jumlah terhadap sampel, tanpa mengindahkan soal besaran kandungan konsentrasi riil mikroplastik. 

"Karena sangat sulit sekali," tuturnya. 

Di sisi lain, proses pengujian mikroplastik harus pula dilakukan dengan mempergunakan sejumlah peralatan canggih. Proses pengujian mikroplastik pertama dengan melakukan pemisahan, identifikasi (peralatan instrumentasi), termasuk pula identifikasi secara fisika dan kimia.

Dan terakhir adalah identifikasi deteksi komposisi kimianya mempergunakan peralatan berikut, yakni SED-EDS, FTIR, near infrared spectroscopy (NIR), raman spectroscopy, nucler magnetic resonance, hingga TED GC. 

"Untuk benar-benar membuktikan bahwa bahan-bahan tersebut adalah mikroplastik. Data dari FTIR dibandingkan dengan data SED, hingga data dari NIR. Itu akan bisa lebih meyakinkan tingkat identifikasi mikroplastik akan tampak," ujarnya. 

Baca Juga: Para ASN Muslim di Balikpapan Diminta Baca AL Quran sebelum Kerja

Berita Terkini Lainnya