TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Riwayat Bagarakan Sahur di Samarinda yang Tradisinya Kian Dilupakan

Bagarakan sahur jadi wadah membantu warga jalankan ibadah

Ilustrasi bagarakan sahur (infopublik.id/istimewa)

Samarinda, IDN Times - Ramadan memang selalu dinanti bagi umat muslim. Maklum pada bulan suci ini pahala berlipat ganda, dosa diampuni, pintu surga terbuka dan bulan penuh berkah. Kendati demikian, di Samarinda Kalimantan Timur (Kaltim) ada hal lain yang dinanti tatkala Ramadan mendekat. Apa itu? Jawabannya, bagarakan sahur. Kegiatan ini menjelma menjadi tradisi penting bagi warga Kota Tepian.

“Bagarakan sahur ini sudah menjadi tradisi sejak lama. Membangunkan orang-orang untuk santap sahur,” ujar Muhammad Sarip, Sejarawan Lokal Samarinda kepada IDN Times, Jumat (9/4/2021). 

Baca Juga: Berani Parkir Sembarangan di Samarinda? Ini Konsekuesinya

1. Tradisi bagarakan sahur sengaja digunakan untuk membangunkan warga

Muhammad Sarip, sejarawan lokal Samarinda (IDN Times/Yuda Almerio)

Lebih lanjut dia menerangkan, biasanya kegiatan bagarakan sahur ini dilakukan oleh sekelompok anak muda. Dengan menggunakan peralatan seadanya. Mulai dari botol dan sendok, panci dan drum. Intinya instrumen musik perkusi. Nah, bunyi tetabuhan bergemuruh dan genderang yang bertalu-talu inilah yang digunakan untuk membangunkan warga sahur.

Lazimnya mereka berkeliling permukiman warga. Meski terkesan berisik, namun cara ini sengaja digunakan untuk membangunkan warga dari tidur pulasnya. Terkadang dalam tempo tertentu, ada pekikan sahur, sahur, sahur yang saling bersahutan. Tradisi tempo dulu yang berlangsung saat Ramadan ini tak hanya terjadi di Samarinda. Ada juga di daerah lain. Hanya saja penyebutannya yang berbeda.

“Menurut saya, tradisi ini ada karena dulu belum ada alarm yang bisa membangunkan orang-orang. Maka dari itu bagarakan sahur hadir sebagai wadah untuk membantu warga,” sebutnya.

2. Saat ini tradisi bagarakan sahur sangat jauh berbeda dari sebelumnya

Ilustrasi bagarakan sahur (dailymoslem.com/istimewa)

Sarip melanjutkan, sebenarnya istilah bagarakan sahur mengadopsi kegiatan serupa dari Banjarmasin Kalimantan Selatan (Kalsel). Bagarakan berasal dari kata garak yang berarti gerak. Kata garak diberi imbuhan ba-an, sehingga menjadi bagarakan yang berarti bergerakan.

Yang belakangan menjadi suatu aktivitas membangunkan warga untuk sahur dengan meriah, serempak dan terkoordinasi. Pada abad ke-16 masehi, sebelum Islam menyebar dan menjadi agama bangsa Banjar, mereka sudah memiliki alat musik tradisional yakni gendang (babun) dan gong. Dahulu, alat-alat inilah yang digunakan untuk membangunkan warga berjalan kaki keliling kampung.

Walaupun Samarinda dihuni dengan ragam etnis, masyarakat Samarinda tetap mempertahankan kultur lokal Banjar yang sudah membumi sejak lima abad sebelumnya. Perlu diingat juga, jika Samarinda dulunya merupakan wilayah Kutai Kartanegara dan termasuk vasal atau daerah kekuasaan dari Kerajaan Banjar.

Sehingga hal lumrah jika kebudayaan Banjar juga banyak diadopsi dari Kalimantan Selatan, termasuk bahasanya yang sudah menjadi lingua franca (tutur pergaulan) di antara warga Kota Tepian.

“Tapi sekarang tradisi ini banyak terjadi penyimpangan,” tegasnya.

Baca Juga: Mengenal Doddy Angga, Oppa Korea asli Samarinda yang Viral di TikTok

Berita Terkini Lainnya