Kisah Mahasiswi Samarinda, Sempat Kelaparan Seminggu di Hubei
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Samarinda, IDN Times – Lima mahasiswa dan mahasiswi asal Kota Tepian—sebutan lain Samarinda—sempat terkurung di Provinsi Hubei, Tiongkok karena virus corona, namun reaksi cepat Pemerintah Indonesia, kelima pelajar ini bersama 235 Warga Negara Indonesia (WNI) lainnya bisa kembali ke Indonesia pada 1 Februari lalu.
Sebelumnya, warga Ibu Kota Provinsi Kaltim ini turut serta dalam masa karantina di Hanggar Lanud Raden Sadjad Ranai, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau selama 14 hari. Setelah dipastikan negatif virus corona, mereka kemudian dibolehkan kembali ke daerahnya masing-masing pada Sabtu (15/2). Para mahasiswa ini pun tiba di Samarinda pada Ahad (16/2) di Bandara APT Pranoto.
“Kami sudah melihat secara rasional, Alhamdulillah anak-anak semua sehat. Jadi sebenarnya tidak ada masalah. Setelah dikarantina pun sehat semua dan baik," kata Wali Kota Samarinda Syaharie Jaang saat usai menerima lima mahasiswa kampus Tiongkok asal Samarinda tersebut di, Rumah Jabatan (Rumjab) Wali Kota Samarinda, Jalan S Parman pada Senin (17/2).
1. Wali kota ingin bertemu karena tak sempat menjemput warganya di bandara
Tatap muka ini dilakukan, lantaran saat mahasiswa/mahasiswi ini tiba di Samarinda, wali kota dua periode itu tak sempat menjemput. Itu sebab, dirinya mengundang kelimanya bertandang ke rumah jabatan wali kota. Perbincangan sempat dilakukan, pembahasan utama tentu kondisi selama di Tiongkok maupun Natuna.
“Semua sehat saja, memang ada orangtua yang khawatir, tapi setelah dikarantina 14 hari semuanya baik-baik saja," tegas penggawa Partai Demokrat Kaltim tersebut.
Baca Juga: Mahasiswi Kaltim: Observasi di Natuna Dapat yang Terbaik dari Negara
2. Mahasiswa kampus Tiongkok asal Samarinda akan mengikuti kuliah online untuk sementara
Meski demikian, kata Jaang, untuk saat ini seluruh mahasiswa kampus Tiongkok asal Samarinda ini belum bisa kembali karena endemi (virus corona) begitu menakutkan. Sehingga salah satu cara melanjutkan pendidikan ialah menggunakan sistem dalam jaringan internet alias kuliah online.
"Karena kedokteran jadi cukup lama, anak-anak ini paling tinggi semester 8. Jadi mereka akan komunikasi secara online untuk sementara, semoga kuliahnya juga cepat selesai,” ujarnya.
Ia kemudian meminta agar warga Samarinda mendoakan Tiongkok. Sebab warga Indonesia tak hanya pelajar yang kembali ke Indonesia atau Samarinda.
“Saat sekarang mahasiswa saja, belum lagi yang bermukim dan usaha di sana (Tiongkok).”
3. Sempat kelaparan di Tiongkok selama seminggu
Terpisah, Rizka Nurazizah mahasiswi Kedokteran asal Hubei Polytechnic University di kota Huangshi, Distrik Xialu, Provinsi Hubei menuturkan, pertemuan dengan wali kota Samarinda membahas mengenai kondisi Tiongkok, komitmen ketika lulus nanti hingga keadaan saat menjalani karantina.
Dirinya pun berterima kasih kepada Pemerintah Indonesia yang mau membantu dia dan kawan-kawannya yang lain keluar dari Tiongkok sementara waktu hingga penyebaran virus benar-benar bisa diredam.
Meski demikian, Rizka tak banyak ingat kejadian selama di Negeri Panda saat virus corona melanda. Namun paling membekas ialah akses transportasi ditutup. Dengan demikian mereka terkurung dan tak bisa ke mana-mana.
Derita itu ditambah dengan stok makanan menipis, mini market dan pusat belanja tak bisa lagi menyediakan.
"Sempat (kelaparan), kami kekurangan bahan makanan selama satu minggu. Alhamdulillah, dari pihak KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk Tiongkok) memberikan bantuan. Harga makanan waktu itu hingga tiga kali lipat, bahkan bisa sampai 10 kali lipat harganya," tutur Rizka.
4. Selama virus mewabah akses transportasi mati total
Setali tiga uang atau tak ada bedanya dengan Dexi Felia Wenny Pali mahasiswi kedokteran asal Hubei Minzu University juga menuturkan hal senada. Ketika virus mewabah di Wuhan, Tiongkok semua akses transportasi mati total.
"Benar-benar transportasi ditutup, jadi selama virus itu menyebar kami di asrama saja. Tidak ada ke mana-mana. Kalau ada yang ingin keluar asrama, harus meminta surat izin dari dosen dan pihak kampus," akunya.
5. Semua mahasiswa mendapatkan sertifikat sehat sesuai standar WHO
Mahasiswi semester delapan itu bercerita mengenai detik-detik dirinya merasakan kondisi mencekam. Tak lain ialah saat dirinya dan kawan-kawan yang lain melewati alat pemindai suhu tubuh. Padahal saat itu mereka baik-baik saja. Rasa tegang baru hilang saat mendarat di Natuna, Kepulauan Riau.
"Kalau suhu tubuh di atas 37 celsius kami tidak bisa keluar dari Tiongkok,” sebut Dexi.
Dia menambahkan, semua teman-teman yang ada di Natuna waktu itu tak ada yang mengalami demam tinggi, jika terjadi ya, siap-siap tak bisa kembali.
Ia bersyukur semuanya sehat dan mereka juga telah mendapatkan sertifikat sehat standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dari Kementerian Kesehatan.
Baca Juga: Marina: Tak Bosan, Justru Enjoy Selama Diobservasi di Natuna