Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Rektor ITK yang Tuai Kritik, saat Membendung Paham Intoleran Kampus

IDN Times/Surya Aditya

Balikpapan, IDN Times - Sepekan terakhir publik dikejutkan pernyataan frontal Rektor Institut Teknologi Kalimantan (ITK) Budi Santosa Purwokartiko di unggahan media sosial. Dalam petikan kalimat di Facebook tersebut, ia menyinggung soal "menutup kepala ala manusia gurun" yang heboh di mana-mana. 

Praktis sang rektor menuai kritik warganet yang menudingnya diskriminatif dan rasis. Sebagian menyayangkan pernyataan tersebut muncul dari mulut seorang akademisi yang membawahi institusi ITK.

Kepada IDN Times, Budi akhirnya berani buka-bukaan soal pernyataannya yang sudah menuai pro kontra di masyarakat.

"Kondisi masyarakat kita mudah tersinggung, isu apa pun yang menyerempet soal keyakinan, langsung saja tersulut, marah. Tanpa terlebih dahulu mendalami apa yang terjadi," katanya ketika dihubungi IDN Times, Minggu (1/5/2022). 

1. Pernyataan masih dalam koridor kritikan membangun

IDN Times/Surya Aditya

Budi menyatakan, pernyataannya dalam media sosial tersebut masih dalam koridor kritikan wajar tentang kondisi kebangsaan negeri ini. Pemilihan diksi kalimat "manusia gurun", menurutnya, merujuk pada kelompok masyarakat yang menolak perbedaan pendapat tanpa mempertimbangkan fakta-fakta maupun bukti empiris. 

Dalam kasus ini, Budi mengaku tidak ada niatan diskriminatif maupun rasis kepada siapa pun. Sebaliknya kelompok intoleran tersebut, menurutnya, sudah jauh lebih kelewatan dengan menyebut masyarakat nusantara sebagai penganut klenik, mistis, takhayul, dan lainnya.

Bahkan tudingan "manusia gurun" dianggap lebih sopan dibandingkan istilah "kadrun" yang merupakan kepanjangan dari kalimat "kadal gurun". Kadrun sendiri merupakan ungkapan yang sering dipakai kelompok nasionalis, seperti Denny Siregar, Ade Armando, dan lainnya. Merujuk kepada mereka yang dituding sebagai kelompok intoleran, radikal, hingga pelaku teror.

Dalam kesempatan itu, Budi bahkan mengaku salut dengan Sumanto Al Qurtuby, seorang dosen di Universitas King Fadh Saudi Arabia. Akademisi kelahiran Batang Jawa Tengah ini, menurutnya, sangat lugas dalam mengkritisi kemunculan paham intoleran di antara masyarakat. Penyampaian kritikan dibingkai dalam kalimat satir yang tepat mengena pada sasaran. 

"Sumanto Al Qurtubi (dalam memberikan kritik) aman-aman saja. Mungkin karena saya orang teknik (sehingga bicaranya lugas) ya," paparnya. 

2. Menjauhkan lingkungan kampus ITK dari paham intoleran dan radikalisme

IDN Times/Surya Aditya

Budi menyatakan, situasi kebangsaan di Indonesia berada dalam situasi yang genting. Di mana kelompok-kelompok intoleran dianggap berusaha mengganggu tatanan kehidupan berbangsa. 

Situasi intoleran ini diduga sudah masuk dalam lingkungan akademisi kampus di Indonesia. Budi pun merujuk pada komentar terbuka para akademisi yang cenderung condong pada aksi intoleran dan radikalisme di Indonesia. Seperti kasus terbaru, postingan dosen Universitas Gadjah Mada Karna Wijaya di media sosial, yang terkesan mengolok-olok Ade Armado dalam peristiwa pengeroyokannya. 

"Situasi (intoleran) itu bisa saja terjadi dan masuk dalam lingkungan kampus," ungkapnya.

Karenanya, Budi pun bertekat agar situasi intoleran dalam kampus ini tidak terjadi juga di ITK. Sebagai kampus negeri yang relatif baru di Indonesia, menurutnya, pencegahan paham intoleran di ITK lebih mudah dibandingkan kampus-kampus besar lainnya. ITK memiliki sebanyak 208 tenaga pengajar yang mayoritas masih muda dan lebih mudah untuk dibimbing. 

"Bagi seorang dosen yang kebetulan PNS dibayar oleh negara, tentunya harus memiliki nilai kebangsaan dan kecintaan pada NKRI. Jangan sampai kita cari makan dari negara tapi mencela negara terus," ujarnya.

Di lingkungan kemahasiswaan, Budi juga mulai membatasi kegiatan keagamaan mahasiswa yang berpotensi membawa paham intoleran dalam kampus. Ia lebih condong mendorong mahasiswa mengikuti kegiatan pengajian keagamaan yang bisa memicu rasa kebangsaan dan NKRI. 

Budi meminta para mahasiswa agar menghargai keragaman dan pluralisme di Indonesia. Kampus ITK dulu sempat dimasuki kelompok pengajian tertentu yang ujung-ujungnya berusaha mempengaruhi ideologi mahasiswa. 

Di situasi itu, ia pun langsung melarang aktivitas pengajian di lingkungan kampus yang berpotensi membawa perilaku intoleran mahasiswa.    

"Sebagai seorang muslim yang pernah tinggal di Amerika, saya tahu rasanya menjadi minoritas di negeri orang. Kita harus bisa menghargai perbedaan di antara anak bangsa agar bisa lebih maju di masa depan," ujarnya.  

Masa seperti sekarang ini, menurutnya, mahasiswa semestinya lebih fokus dalam pengembangan SDM, profesionalisme, komunikasi, intelektual, dan kepemimpinan. Era millennials dan Gen Z membutuhkan para profesional muda yang mempunyai kompetensi di bidangnya masing-masing.   

3. Berani bicara untuk mengutarakan pendapat

Unggahan Rektor kampus ITK soal mahasiswi menutup kepala ala manusia gurun viral di media sosial (istimewa)

Beberapa hari terakhir, Budi berusaha mendinginkan suasana, khususnya terkait viralnya soal unggahan "manusia gurun". Sebagai seorang Rektor ITK, ia tentunya punya kewajiban menjaga nama baik dan kredibilitas kelembagaan kampus. 

Tetapi di sisi lain, Budi mengaku terpanggil untuk mengutarakan pendapat terkait ancaman intoleran dan radikalisme. Sudah waktunya masyarakat berpartisipasi aktif dalam menjaga keberlangsungan bangsa ini.

Seperti rutin dilakukan penggiat media sosial Denny Siregar dan Ade Armando di akun YouTube Cokro TV.

Budi kagum dengan keberanian keduanya yang konsisten dalam memperjuangkan keragaman dan pluralisme di Indonesia. Meskipun risiko berat dihadapi, seperti dialami Ade Armando, dosen Universitas Indonesia yang menjadi korban pengeroyokan dalam demo aksi mahasiswa baru-baru ini.

Para pelaku diduga merupakan kelompok intoleran dan radikal yang berseberangan pendapat dengannya. 

"Saya bisa dikatakan termasuk penggemar Denny Siregar dan Ade Armando. Menghormati pendapat yang mereka sampaikan," ujarnya.   

Karenanya, rektor ini mengaku tidak kapok dalam menyuarakan pendapatnya soal ancaman intoleran dan radikalisme. Semasa dua tahun menjabat selaku Rektor ITK, Budi memang rutin mengunggah pendapatnya dalam dalam pelbagai platform media sosial.

"Akan terus menyampaikan pendapat, mungkin akan lebih soft. Kita punya kewajiban memupuk rasa kebangsaan di antara anak bangsa. Kalau tidak, nanti kita juga yang akan rugi," tegasnya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
SG Wibisono
EditorSG Wibisono
Follow Us