Sorotan Pejabat di Kaltim! Dapat TPP Rp99 Juta saat Rakyat Disuruh Efisien

Balikpapan, IDN Times – Di tengah kebijakan efisiensi dan pemangkasan anggaran, kebijakan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur (Pemprov Kaltim) soal Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) bagi aparatur sipil negara (ASN) menuai sorotan tajam dari kalangan akademisi dan pengamat ekonomi Universitas Mulawarman (Unmul).
Dalam Keputusan Gubernur Kaltim Nomor 100.3.3.1/K.731/2023, tercatat bahwa Sekretaris Daerah (Sekda) menerima TPP tertinggi, yakni sebesar Rp99 juta per bulan. Disusul oleh inspektur daerah Rp69,4 juta, asisten gubernur Rp69,3 juta, serta Kepala BPKAD dan Bappeda masing-masing Rp62,9 juta.
Posisi lain juga mendapat tunjangan besar. Sekretaris DPRD dan kepala dinas/badan menerima Rp48 juta, direktur RSUD kelas A Rp46,5 juta, staf ahli gubernur Rp45 juta, Kepala Satpol PP Rp42 juta, dan kepala biro Rp40,5–44,5 juta. Sedangkan pejabat fungsional utama memperoleh Rp27–29,7 juta per bulan.
1. Akademisi kritik kebijakan: “Pejabat harus puasa tunjangan!”

Menanggapi kebijakan itu, Purwadi Purwoharsojo, akademisi sekaligus pengamat ekonomi Unmul, menilai besarnya TPP tidak sejalan dengan semangat efisiensi yang digaungkan pemerintah.
Menurutnya, di saat rakyat diminta berhemat, para pejabat justru menerima tunjangan fantastis. Ia menegaskan kondisi ini menunjukkan ketimpangan moral dan keadilan publik.
“Pejabat publik Kaltim di semua tingkatan harus puasa dalam lima tahun ini. Kalau mau revolusioner, tunjangannya dinolkan. Sanggup tidak hanya menerima gaji pokok saja? Itu baru pemimpin yang pasang badan untuk rakyat,” ujarnya.
Purwadi menambahkan, sebagian besar pejabat sudah memiliki harta berlimpah sebelum menjabat. Jika mereka tetap menerima tunjangan besar, maka efisiensi hanya menjadi jargon semu.
“Kalau tetap saja tunjangan mereka gede, ya sama saja bohong,” tambahnya.
2. Minta dana hibah Parpol ditangguhkan lima tahun

Selain soal tunjangan, Purwadi juga menyoroti penyaluran dana hibah yang dinilainya kerap tidak tepat sasaran. Ia menuding banyak pemborosan anggaran di organisasi masyarakat hingga partai politik (Parpol).
Karena itu, ia menyarankan agar dana hibah untuk Parpol ditangguhkan selama lima tahun ke depan jika memang efisiensi anggaran benar-benar ingin dijalankan secara serius.
Purwadi menegaskan, penghematan harus dimulai dari pejabat publik, bukan dibebankan kepada rakyat. Ia juga mendorong evaluasi menyeluruh terhadap tunjangan pejabat dari berbagai level, mulai DPRD hingga kepala daerah.
“Pejabat tugasnya melayani rakyat, bukan menikmati uang pajak dari rakyat,” tegasnya.
3. Janji politik jangan batal karena alasan efisiensi

Purwadi juga mengingatkan agar efisiensi anggaran tidak dijadikan alasan untuk membatalkan janji politik, seperti program pendidikan gratis Pol (Gratispol). Ia menyoroti belum optimalnya pelaksanaan program beasiswa tersebut karena keterlambatan pencairan ke kampus-kampus negeri.
“Janji politik harus tetap konsisten demi masyarakat,” ucapnya.
Ia menilai, masih banyak anggaran yang tidak efisien seperti perjalanan dinas dan fasilitas mewah pejabat, sementara program masyarakat justru terbengkalai.
4. Efisiensi harus menyentuh pejabat, bukan rakyat kecil

Menurut Purwadi, ketergantungan kabupaten dan kota terhadap dana pusat dan provinsi membuat kebijakan efisiensi perlu disusun hati-hati. Pemangkasan Dana Bagi Hasil (DBH), misalnya, dapat menunda proyek pembangunan dan menggerus kepercayaan publik. “Pemotongan DBH bukan hanya soal angka, tapi menyangkut kesinambungan pembangunan dan kepercayaan publik,” tegasnya.
Ia mendorong pemerintah untuk mengunci anggaran program vital, memangkas belanja tak mendesak, serta meningkatkan PAD tanpa menekan masyarakat. Langkah ini bisa dilakukan lewat optimalisasi aset daerah, digitalisasi layanan, dan efisiensi birokrasi.
Purwadi juga mengusulkan pemangkasan drastis belanja perjalanan dinas, terutama ke luar daerah atau luar negeri. Menurutnya, efisiensi bukan sekadar hemat, tetapi juga soal keadilan fiskal.
“Kalau daerah penghasil utama melemah, efeknya pasti ke pusat juga,” ujarnya.
Sebagai penutup, Purwadi menekankan pentingnya transparansi kepada masyarakat terkait pos-pos anggaran yang dipangkas. Menurutnya, keterbukaan data akan memperlihatkan komitmen nyata pemerintah dalam menjalankan efisiensi secara adil.
“Publik juga berhak mengetahui detail dari efisiensi anggaran,” tutupnya.