Menteri PPPA Sebut Gadget Jadi Pemicu Utama Kasus Kekerasan Anak, Benarkah?

Balikpapan, IDN Times – Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifatul Choiri Fauzi, menyampaikan keprihatinan mendalam atas tingginya angka kekerasan terhadap anak di Indonesia. Hal itu ia ungkapkan saat menghadiri peluncuran Ruang Bersama Indonesia (RBI) di Taman Bekapai, Balikpapan, Jumat (29/8/2025).
Arifatul menegaskan, penggunaan gadget tanpa pendampingan orangtua menjadi faktor dominan yang memicu kekerasan pada anak. Dari data Kementerian PPPA, 90 persen kasus berakar dari masalah ini.
“Anak-anak tidak bisa langsung dilarang menggunakan gadget tanpa diberi alternatif. Bahkan mereka sering beralasan tugas sekolah ada di HP. Padahal, hal itu membuat mereka semakin pasif dan kehilangan kedekatan emosional dengan orang tua,” jelasnya.
Sebagai solusi, ia mendorong kembalinya permainan tradisional untuk membentuk karakter anak. “Permainan tradisional mengajarkan gotong royong, kebersamaan, hingga nilai Pancasila. Ini jauh lebih sehat dibanding anak-anak larut dengan gawai,” tambahnya.
1. Angka kasus kekerasan perempuan dan anak terus naik

Selain persoalan gadget, Arifatul juga menyoroti peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak secara nasional. Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA), sejak Januari hingga 14 Juni 2025 tercatat lebih dari 11 ribu kasus. Jumlah itu melonjak menjadi 19.535 kasus per 24 Agustus 2025, atau bertambah sekitar 7.500 kasus dalam dua bulan terakhir.
“Ini bukan angka sedikit, ini luar biasa. Dan yang lebih memprihatinkan, ini baru fenomena gunung es karena banyak korban belum berani speak up,” tegas Arifatul.
Menurutnya, ada lima faktor utama pemicu kekerasan: kondisi ekonomi, pola asuh yang renggang akibat penggunaan gadget, lingkungan pergaulan anak, praktik pernikahan usia dini, serta kurangnya ruang aman bagi perempuan dan anak.
2. Pentingnya pola asuh penuh kasih

Menteri PPPA menekankan pentingnya peran keluarga dalam mencegah kekerasan. Ia menilai, pengasuhan dengan cinta dan perhatian jauh lebih berharga daripada sekadar memberikan gawai ketika anak rewel.
“Jangan salahkan anak-anak kalau sulit diarahkan. Sebab ketika anak menangis atau tidak mau belajar, yang diberikan bukan hati dan perhatian, tapi gadget. Kita kehilangan kesempatan membangun ikatan emosional,” katanya.
Arifatul menambahkan, solusi atas persoalan ini tidak cukup dari kebijakan pusat saja. Peran desa, kelurahan, keluarga, dan masyarakat menjadi kunci dalam menciptakan generasi yang aman, setara, dan berdaya.
3. Balikpapan luncurkan Ruang Bersama Indonesia (RBI)

Kunjungan Arifatul ke Balikpapan sekaligus meresmikan Ruang Bersama Indonesia (RBI) di Taman Bekapai. Program ini merupakan pengembangan dari Desa/Kelurahan Ramah Perempuan dan Anak yang kini dikemas lebih integratif dan berbasis kearifan lokal.
Wakil Wali Kota Balikpapan, Bagus Susetyo, menyebut kehadiran RBI selaras dengan komitmen Balikpapan sebagai Kota Layak Anak. Fasilitas publik kini dilengkapi ruang bermain, pembelajaran dasar dengan pendampingan, hingga ruang kreatif untuk UMKM dan komunitas lokal.
“Kami ingin predikat Kota Layak Anak tidak hanya jadi gelar, tapi benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. RBI menjadi instrumen penting untuk itu,” kata Bagus.
Arifatul menegaskan, RBI akan menjadi wadah kolaborasi lintas sektor dalam melindungi serta memberdayakan perempuan dan anak. “Bangsa yang kuat lahir dari desa yang menyemai kesetaraan, keluarga yang bebas kekerasan, dan masyarakat yang mau mendengar aspirasi anak-anaknya,” pungkasnya.