10 Bulan Berlalu, Dugaan Pencemaran Laut Muara Badak Masih Mandek

Balikpapan, IDN Times – Sepuluh bulan sudah nelayan Muara Badak menanti keadilan atas dugaan pencemaran laut oleh PT Pertamina Hulu Sanga-Sanga (PHSS). Namun hingga kini, hasil laboratorium dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tak kunjung dirilis, sementara proses hukum di tingkat kepolisian tersendat. Akibatnya, ribuan nelayan tetap menanggung kerugian ekonomi dan lingkungan yang kian memburuk.
Di tengah laut yang tercemar dan tambak yang tak lagi produktif, para nelayan mulai kehilangan kepercayaan terhadap negara. Harapan akan kehadiran hukum yang berpihak pada korban kini berubah menjadi rasa kecewa, sebab penegakan hukum justru terhambat birokrasi dan tarik-ulur antarinstansi.
1. Penyelidikan mandek, hasil laboratorium tak kunjung dirilis

Pusat Advokasi Kalimantan Timur (Pusaka), yang selama ini mendampingi nelayan Muara Badak menilai lambannya penanganan kasus ini mencerminkan pengabaian hak warga atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat. Ketua Pusaka Kaltim, Muhammad Taufik, menegaskan korporasi seharusnya bertanggung jawab penuh atas kerusakan yang terjadi.
“Pasal 88 UUPPLH menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability). Korban tidak perlu membuktikan kesalahan. Selama ada bukti kerusakan akibat aktivitas perusahaan, maka tanggung jawab penuh ada pada korporasi,” ujar Taufik kepada IDN Times.
Ia mendesak PHSS agar segera melakukan pemulihan lingkungan dan kompensasi bagi korban tanpa menunggu proses hukum berlarut. “Ini bukan soal niat baik, tapi kewajiban hukum,” tambahnya.
Pihaknya juga menyampaikan tiga tuntuan. Yang pertama. segera merilis hasil laboratorium secara utuh dan transparan kepada publik untuk mengakhiri spekulasi, memberikan kepastian ilmiah, dan memungkinkan proses hukum pidana berjalan sesuai amanat Pasal 98 dan 99 UUPPLH.
Mereka juga mendesak agar mempercepat proses gelar perkara dan memberikan jadwal penanganan yang jelas dan terukur. Koordinasi internal tidak boleh menjadi alasan untuk menunda hak korban atas keadilan dan kepastian hukum.
"Kepada PT Pertamina Hulu Sanga-Sanga (PHSS) untuk menunjukkan itikad baik dan tanggung jawabnya dengan tidak hanya menunggu proses hukum yang berlarut-larut, melainkan secara proaktif memulai langkah-langkah pemulihan lingkungan dan dialog untuk pemenuhan ganti rugi terhadap nelayan terdampak," sebut Taufik.
2. Kasus jalan di tempat

Menurut Taufik, ada dua hambatan utama dalam penanganan kasus ini. Pertama, belum adanya hasil uji laboratorium dari Gakkum KLHK, padahal hasil uji dari Universitas Mulawarman (Unmul) dan Institut Teknologi Bandung (ITB) sudah menunjukkan indikasi pencemaran kuat.
“Tanpa hasil resmi dari Gakkum KLHK, proses pidana lumpuh. Bukti ilmiah itu kunci agar langkah hukum bisa dilanjutkan,” tegasnya.
Kedua, terjadi tarik-ulur antara Polda Kaltim dan Polres Bontang setelah muncul laporan serupa sejak akhir 2024. Berdasarkan SP2HP Polda Kaltim tertanggal 27 Agustus 2025, penyelidikan harus digelar ulang bersama Polres. “Ini seperti melempar bola tanggung jawab. Korban semakin frustrasi,” ujar Taufik.
3. Kerugian nelayan Rp68 miliar

Koalisi Peduli Nelayan Kerang Darah Muara Badak mencatat 299 kepala keluarga terdampak pencemaran yang sudah berlangsung sejak akhir 2024 lalu ini, tersebar di enam desa dari pesisir Tanjung Limau hingga Saliki. Menurut perwakilan koalisi, Muhammad Yusuf, pencemaran ini menewaskan ribuan kerang darah yang dibudidayakan nelayan dan menyebabkan kerugian hingga Rp68,4 miliar.
“Beberapa nelayan kini tak bekerja, ada yang terlilit utang, bahkan mencari kerja serabutan untuk bertahan hidup,” kata Yusuf.
Ia berharap kepolisian dan pemerintah bertindak cepat agar nelayan bisa kembali melaut dengan tenang.
Sementara itu, Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq awal Juli lalu di Balikpapan menyatakan pihaknya masih menunggu hasil laboratorium atas sampel ikan yang dikirim sebelumnya.
“Kami akan bela semua pihak yang memperjuangkan kebenaran lingkungan, termasuk masyarakat dan saksi ahli. Proses investigasi ini penting agar hasilnya sahih secara ilmiah,” ujarnya.
4. Pertamina siap ikuti keputusan KLH

PT Pertamina Hulu Indonesia (PHI) menyatakan keprihatinan atas gagal panen kerang darah yang terjadi di Kecamatan Muara Badak, Kutai Kartanegara, terutama di Desa Tanjung Limau. Perusahaan mengaku memahami kesulitan masyarakat terdampak dan telah menyalurkan bantuan bersama Dinas Sosial Kutai Kartanegara pada Maret lalu.
Hingga kini, PHI masih menunggu keputusan resmi dari Kementerian Lingkungan Hidup terkait hasil investigasi dugaan pencemaran laut yang dilakukan Tim Penegakan Hukum pada Mei 2025. PHI menegaskan bahwa seluruh kegiatan operasional migas dijalankan sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang berlaku.
Manajer Comrel & CID PHI, Dony Indrawan, menyebut perusahaan siap bekerja sama dengan pemerintah dan menghormati keputusan KLH sebagai bentuk komitmen untuk terus meningkatkan kinerja pengelolaan lingkungan di wilayah operasinya.